KETUA Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat Rizki Aulia Rahman Natakusumah mengatakan pihaknya berwenang untuk menindaklanjuti pencabutan tunjangan bagi anggota DPR. Namun, ia tidak menjawab apakah politikus yang telah dinonaktifkan sebagai anggota dewan masih menerima tunjangan.
"Itu kan urusan partai masing-masing," kata Rizki di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa, 2 September 2025. Menurut dia, status penerimaan tunjangan bagi legislator tak aktif menjadi tanggung jawab masing-masing partai politik di Senayan.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Anggota Komisi I DPR itu pun mempersilakan untuk menanyakannya kepada partai politik. "Jadi urusan rumah tangga yang saya bidangi kan urusan rumah tangga DPR, bukan internal partai," tutur politikus Partai Demokrat itu.
Sejumlah partai politik menonaktifkan anggota DPR yang dinilai kontroversial karena memantik amarah publik. NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, Golkar menonaktifkan Adies Kadir, PAN menonaktifkan Uya Kuya dan Eko Patrio.
Pakar Hukum Tata Negara Titi Anggraini menyatakan bahwa penonaktifan anggota DPR tidak serta merta meniadakan fasilitas dan tunjangan yang diberikan untuk mereka.
Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran atau Banggar DPR Said Abdullah memastikan Badan Urusan Rumah Tangga DPR akan membahas pencabutan sejumlah tunjangan anggota dewan. Politikus PDI Perjuangan ini menegaskan bahwa jenis tunjangan yang sudah pasti dicabut ialah tunjangan perumahan.
“Saya sudah menyampaikan stop tunjangan perumahan karena ini bukan semata-mata soal rasionalitas pembacaan kita terhadap anggaran, permufakatan, kesepakatan di antara fraksi-fraksi di DPR,” ujar Said di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 1 September 2025.
Tunjangan anggota DPR menjadi sasaran kritik dan amarah publik belakangan ini. Lembaga legislatif disorot karena besarnya gaji dan tunjangan jabatan anggota mereka yang mencapai lebih Rp 100 juta saban bulan. Gelombang demonstrasi berlangsung untuk menuntut transparansi dan pemangkasan tunjangan anggota DPR.
Eka Yudha Saputra dan Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini