
SEBANYAK 344 akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap kondisi bangsa saat ini. Mereka mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah nyata guna mengatasi krisis multidimensi, mulai dari restrukturisasi kabinet hingga penolakan terhadap wacana darurat militer dan upaya penyesatan sejarah.
Seruan ini disampaikan melalui konferensi pers daring yang digelar oleh Aliansi Akademisi Peduli Indonesia, Senin (1/9). Mayoritas anggota aliansi merupakan guru besar dan dosen dari kampus-kampus ternama seperti UI, UGM, ITB, Unpad, IPB, hingga Unhas.
Koordinator aliansi, Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum dari Universitas Indonesia, menegaskan bahwa berbagai kebijakan pemerintah saat ini dianggap tidak berbasis pada kajian ilmiah, tidak menyerap aspirasi masyarakat, serta jauh dari realitas kebutuhan rakyat.
"Semuanya dibuat tanpa dasar ilmiah dan bukti juga tidak mengakomodasi realitas, pengalaman dan kebutuhan rakyat. Ini terbukti dari banyaknya program yang salah sasaran, rawan penyimpangan, dan cenderung bisa ditafsirkan sebagai ‘power build-up’," tulis pernyataan tersebut yang diterima, Selasa (2/9).
Aliansi menyoroti melemahnya tiga pilar utama dalam negara hukum yakni keruntuhan demokrasi, melemahnya prinsip moral dan keadilan dalam kebijakan, serta melemahnya mekanisme kontrol akibat lembaga pengadilan yang gagal independen.
Mereka juga menyinggung data BPS yang dinilai membingungkan dan tidak sejalan dengan temuan lembaga survei independen. Kebijakan pemekaran pajak di daerah pun disebut semakin membebani rakyat.
"Kondisi seperti ini membuat rakyat mulai kehilangan ‘trust’, kehilangan harapan dan marah. Tidak terelakkan jika keadaan seperti ini melahirkan protes dan ‘amok’."
Merespon kondisi tersebut, Aliansi Akademisi mendesak langkah konkret kepada pemerintah. Tuntutan pertama adalah restrukturisasi kabinet dan pejabat lemagaan pemerintahan agar kompeten, ramping, efisien, dan tidak memberatkan keuangan negara.
"Termasuk menghentikan pengangkatan para pejabat negara yang tidak didasarkan pada kompetensi, profesionalisme, dan integritas tinggi, demi memperkuat dan memperluas kekuasaan semata," tulisnya.
Aliansi juga mendesak perbaikan kebijakan politik anggaran yang salah sasaran. Mereka menyarankan sumber keuangan negara seharusnya berasal dari perampasan aset koruptor dan pengusaha sumber daya alam, bukan dari pajak rakyat. Alokasi anggaran juga harus diprioritaskan untuk pemenuhan hak pendidikan dan kesehatan sebagai ‘entitlement’, bukan ‘charity’, serta meninjau ulang gaji dan fasilitas berlebihan untuk anggota legislatif dan direksi BUMN.
Mereka mendesak pencabutan berbagai instrumen hukum dan kebijakan yang dibuat instan dan bermuatan kepentingan kekuasaan, serta penguatan pemberantasan korupsi dan gratifikasi.
Aliansi juga secara tegas menolak pemberlakuan darurat militer atau sipil atas kondisi saat ini.
"Tidak memberikan darurat militer atau sipil yang berakibat tindakan represif terhadap gerakan masyarakat sipil yang menyuarakan rakyat. Tindakan tegas hanya ditujukan secara selektif hanya kepada penyusup yang memprovokasi tindakan anarkis dan pengrusakan," tegas pernyataan itu.
Selain itu, Aliansi juga meminta untuk menghentikan upaya menyesatkan sejarah bangsa. Serta mencegah berbagai bentuk diskriminasi rasial dan kekerasan berbasis gender. (P-4)