China dikabarkan telah meneken perjanjian dagang dengan Amerika Serikat (AS). Kabar ini diutarakan oleh Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick yang kemudian dikonfirmasi oleh Kementerian Perdagangan China.
Kabar ini dinilai menjadi angin segar bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Sebab meredanya ketegangan antara kedua negara tersebut bisa berdampak pada perekonomian global.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal belum bisa melihat lebih lanjut dampak yang akan timbul imbas adanya kabar perjanjian ini. Sebab detail kesepakatan antara kedua negara tersebut belum diketahui.
“Kita tidak tahu persis apa yang disetujui. Karena detail apa yang disetujui itu akan menentukan juga, terutama dengan Indonesia. Jadi magnitude daripada dampaknya juga kita belum bisa tahu” tutur Faisal kepada kumparan, Sabtu (28/6).
Meskipun, lanjut Faisal, secara intuitif dampak dari kesepakatan tersebut adalah menurunnya ketegangan yang akan berimbas pada turun meredanya kekhawatiran dan ketidakpastian ekonomi global.
“Risiko-risiko ekonomi global diharapkan itu juga menurun. Mestinya kalau ketika risiko itu menurun, berarti harga emas itu juga cenderung menurun,” imbuhnya.
Dia juga menyoroti kesepakatan antara AS dan China tidak serta merta membuat tarif resiprokal yang diterapkan AS untuk Indonesia tidak berlaku. Artinya setelah 90 hari tarif tersebut masih akan terus berlaku, jika tidak ada kesepakatan lebih lanjut antara Indonesia dengan AS.
Dengan demikian Indonesia baru bisa benar-benar bernapas lega ketika tarif impor yang diteken oleh AS untuk Indonesia sudah benar-benar diturunkan dari yang ditetapkan pada awal April lalu.
Faisal melihat jika Indonesia tetap mendapatkan tarif yang tinggi untuk mengekspor barang ke AS, maka pelaku industri dalam negeri yang berorientasi ekspor ke AS kehilangan pasar ekspornya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan momen meredanya ketegangan kedua negara ini bisa dimanfaatkan untuk mengekspor produk-produk industri ke kedua negara tersebut.
“Harapannya bisa langsung didorong ekspor industri manufaktur, produk-produk industri, produk-produk olahan ke China, kemudian ke Amerika Serikat memanfaatkan momentum meredanya perang dagang ini,” tutur Bhima kepada kumparan, Sabtu (28/6).
Selain itu, pelaku industri lokal juga harus buru-buru mengisi pasar dalam negeri agar tidak diserobot oleh negara pesaing. Sebab meredanya perang dagang AS-China dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh negara lain untuk memasarkan produknya ke negara-negara tujuan ekspor, termasuk Indonesia.
“Berikutnya lagi suku bunga, memang ini ada ruang sebenarnya untuk menurunkan suku bunga paling tidak 25 basis poin. Karena industri yang memanfaatkan meredanya perang dagang untuk penetrasi ekspor butuh pinjaman baru dengan bunga yang lebih rendah,” jelas Bhima.
Dengan demikian, industri dalam negeri bisa memutar roda perekonomian Indonesia dengan memasarkan produk di pasar global dengan harga yang lebih kompetitif.