
Perusahaan pergadaian swasta terus bermunculan. Jumlahnya tumbuh sejak OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian. Sebelumnya, PT Pegadaian milik pemerintah memonopoli sektor ini.
Dalam aturan tersebut, perusahaan gadai swasta beroperasi dengan mengantongi izin serta diawasi sekaligus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan OJK. Per Februari 2025, ada 197 perusahaan gadai—termasuk satu milik pemerintah yang tercatat di OJK.
Menurut Sekretaris Perkumpulan Perusahaan Gadai Indonesia (PPGI) Holilur Rohman, jumlah anggota PPGI persis seperti data milik OJK yaitu 197 perusahaan sampai akhir Mei 2025. Dirinya pun optimistis bahwa industri gadai akan terus berkembang.
"Industri gadai akan terus tumbuh karena dibutuhkan masyarakat untuk memperoleh pinjaman atau kredit dengan cepat dan mudah," kata Holilur Rohman saat dihubungi kumparan, Selasa (1/7).

Sebagai asosiasi, kata dia, PPGI tidak pernah menerima aduan dari konsumen. Sebab, industri gadai mengikuti peraturan-peraturan yang diterbitkan OJK.
"PPGI tidak pernah menerima pengaduan, pengaduan konsumen langsung ke perusahaan gadai atau ke OJK," ungkapnya.
Dilihat kumparan, berdasarkan POJK 39/2024, perusahaan gadai harus berbadan hukum PT atau berupa koperasi dengan modal pada saat pendirian minimal Rp 2 miliar untuk lingkup kabupaten/kota, Rp 8 miliar untuk lingkup provinsi, dan Rp 100 miliar untuk lingkup nasional.

Persyaratan Mudah, Lebih Fleksibel
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin menyebut, gadai menjadi pilihan masyarakat karena persyaratannya lebih mudah dan cepat daripada meminjam uang ke bank. Selain itu, agunan di perusahaan gadai lebih beragam dan fleksibel.
Dia tidak menampik bahwa menjamurnya perusahaan gadai juga tidak lepas dari keadaan keuangan masyarakat saat ini.
“Kondisi pendapatan yang menurun atau cash flow yang menipis dapat menyebabkan masyarakat yang terdampak mencari pinjaman cepat untuk bertahan, salah satunya melalui gadai,” kata Eddy saat saat dihubungi terpisah.

Menurut pengamatannya, dana yang diperoleh dari menggadaikan barang kebanyakan digunakan untuk konsumsi sehari-hari, termasuk kebutuhan anak dan lain-lain.
Senada dengan Eddy, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Mohammad Faisal menyebutkan, ada dua faktor yang membuat gadai semakin marak. Yang pertama ialah kebutuhan mendesak.
Faisal bilang, masyarakat yang memilih gadai biasanya memiliki kemampuan finansial yang terbatas baik dari sisi penghasilan maupun tabungan.
“Daripada menghutang biasanya begitu ya, ini jadi digadaikan saja dulu barangnya gitu nah jadi dari sisi kemampuan ya keterbatasan kemampuan” jelas dia.

Faktor kedua berkaitan dengan kemudahan pinjaman. Gadai, kata dia, memberikan kemudahan untuk mendapatkan uang tunai dengan syarat-syarat yang mudah. Berbeda dengan bank yang memberlakukan banyak persyaratan.
Faisal juga melihat ada kecenderungan meningkatnya aktivitas gadai ketika perekonomian sedang menurun, terlebih pada kalangan menengah bawah.
“Apalagi juga pasca-COVID ya pasca-COVID kan memang dari sisi daya beli kita turun dibandingkan dengan pra-covid,” ujarnya.
Menurutnya, gadai menjadi salah satu alternatif yang cocok dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Bukan hanya soal pembiayaan, namun juga terkait simpan pinjam.

Tetap Ada Risiko
Eddy mengingatkan bahwa meningkatnya transaksi gadai bukan berarti tanpa risiko. Dampak negatifnya justru dapat mengganggu perekonomian nasional.
“Risiko ada. Seperti lembaga keuangan lain, perusahaan gadai juga dapat collapse. Nasabah juga dapat mengalami kesulitan bayar jika bunganya tinggi. Jadi baik nasabah maupun lembaga gadai bisa mengalami financial distress, yang jika terjadi massive bisa mengganggu perekonomian nasional,” terangnya.

Menurutnya, perlu regulasi untuk melindungi nasabah maupun perusahaan gadai.
“Perlu regulasi yang baik agar nasabah dan perusahaan gadai terlindung dari malpractice, dispute, legal fight, dan lain-lain,” ungkapnya.
Transaksi dan Nasabah Terus Meningkat
Menurut data OJK, jumlah nasabah perusahaan pergadaian naik dari tahun ke tahun. Pada 2016, nasabah aktif sebanyak 3,9 juta dan sebanyak 27,6 juta sampai Februari 2025.
Kota penyumbang nasabah terbanyak adalah Kota Bandung dengan jumlah nasabah aktif sebanyak 3,8 juta, disusul Kota Surabaya sebanyak 3,5 juta, Kota Makassar sebanyak 1,9 juta, dan Kota Jakarta Pusat 1,8 juta.
Ada pula kota-kota besar lain seperti Medan, Mataram, Kota Tangerang, Samarinda, dan Kupang.
Sejalan dengan jumlah nasabah yang melonjak, pembiayaan dan pinjaman yang disalurkan perusahaan pergadaian nilainya juga fantastis. Di awal tahun 2025, pembiayaan dan pinjaman perusahaan gadai mencapai Rp 90 triliun, naik 24,93% dibandingkan tahun lalu yang transaksinya sebanyak Rp 72 triliun.
Lalu transaksi yang disalurkan perusahaan pergadaian swasta melonjak 492,74% dibandingkan tahun 2018. Transaksi sebesar Rp 2,8 triliun pada tahun 2025, sedangkan pada 2018 hanya Rp 475 miliar.
Lalu bagaimana dengan laba yang diperoleh perusahaan pergadaian? Masih berdasarkan data OJK, laba perusahaan pergadaian swasta dan pemerintah mencapai Rp 6,10 triliun di 2024. Dengan rincian laba pergadaian swasta Rp 100 miliar dan laba pergadaian pemerintah Rp 6 triliun.