REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut J Knappert dalam “The Mawlid” (1988), peringatan Maulid Nabi disemarakkan dengan berbagai cara. Kelompok sufi, misalnya, menjadikan momen tersebut sarana untuk mengingat perjuangan dan keteladanan Rasulullah SAW. Perayaan yang berlangsung setiap bulan Rabiul Awal itu juga diisi dengan pembacaan karya-karya sastra ataupun sejarah Nabi (sirah nabawiyah). Hal itu dilakukan sebagai bentuk ekspresi kecintaan dan kerinduan terhadap sang Khatam al-Anbiya wal Mursalin.
Sebagai misal, Kitab Barzanji yang berisi doa-doa, puji-pujian, dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Karya tersebut juga mengandung kisah perjalanan kehidupan beliau; mulai dari silsilah, kelahiran, masa anak-anak, remaja, dewasa, hingga perjuangannya sebagai utusan Allah. Semua itu disajikan dalam wujud bait-bait syair yang ritmis sehingga mudah disenandungkan. Bahkan, tidak sedikit penggemar sastra yang menghafalkannya.
Nama asli kitab ini merupakan ’Iqd al-Jawahir (Kalung Permata). Namun, lama-kelamaan penyebutan yang selaras dengan nama pengarangnya, Syekh Ja’far al-Barzanji bin Hasan bin Abdul Karim, lebih populer.
Sang penulis lahir di Madinah pada tahun 1690. Sufi yang berasal dari kelompok etnis Kurdi—sama seperti Saladin—itu digelari al-Barzanji sesuai dengan desa tempat tinggalnya, Barzinj di Kurdistan.
Contoh lainnya adalah untaian syair Abu Abdullah Muhammad bin Sa’id al-Busiri. Lelaki Mesir yang lahir pada awal abad ke-13 M itu mengarang Burdah, yang berisi berbagai puisi puji-pujian kepada Rasulullah SAW. Hingga saat ini, karya tersebut terus dibaca dan dipelajari, baik oleh kalangan Arab maupun non-Arab.
Burdah tidak hanya dibacakan khusus pada waktu perayaan Maulid. Di Hadhramaut, Yaman, pembacaan karya tersebut diadakan setiap subuh pada hari Jumat atau bakda ashar hari Selasa.
Di Mesir, para ulama Universitas al-Azhar senang membacakan Burdah tiap hari Kamis. Di Suriah, majelis-majelis kasidah bertebaran di rumah-rumah penduduk atau masjid-masjid. Mereka membawakan buah pena sang sufi yang indah itu. Tidak ketinggalan, kaum Muslimin Maroko juga membiasakan baca Burdah dengan diiringi lagu-lagu yang merdu.
Di Indonesia, pembacaan kasidah Burdah dan Barzanji amat mudah ditemui setiap kali Maulid Nabi SAW. Menurut Fadlil Munawwar Manshur dalam “Resepsi Kasidah Burdah al-Bushiry Dalam Masyarakat Pesantren” (2006), kalangan santri lekat dengan tradisi baca Burdah.
Di luar momen peringatan kelahiran Rasul SAW pun, teks itu dipelajari dan dihayati oleh mereka. “Kasidah Burdah adalah karya sastra Arab yang bernuansa keagamaan khas pesantren,” simpul Manshur.
Adapun tradisi pembacaan Barzanji kerap dikaitkan dengan dakwah para Wali Songo, seperti Syekh Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik. Teks yang sama pun menginspirasi Sunan Kalijaga dalam menciptakan tembang Lir-ilir ataupun Tombo Ati yang sangat masyhur, terutama bagi kalangan pesantren. Masuknya Barzanji ke Nusantara tidak terlepas dari pengaruh orang-orang Muslim Persia yang pernah tinggal di Gujarat dalam menyebarkan Islam di Tanah Air.