Mantan Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan, Laksamana Muda (Laksda) TNI (Purn) Leonardi, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung terkait terkait kasus korupsi proyek pengadaan satelit orbit 123 derajat bujur Timur oleh Kemenhan RI tahun 2012-2021.
Leonardi melawan penetapan tersangka itu. Ia mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Gugatan itu telah teregister dengan nomor perkara 85/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL pada tanggal 16 Juli 2025.
"Bahwa tim hukum telah mendaftarkan gugatan praperadilan penetapan tersangka Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi yang dilakukan penyidik koneksitas Kejagung RI di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," kata Kuasa Hukum Leonardi, Rinto Maha, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (5/8).
Rinto menambahkan penetapan tersangka terhadap kliennya begitu prematur dan tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Dia membantah adanya kerugian negara yang ditimbulkan oleh kliennya.
Berdasarkan laporan audit investigatif BPKP tertanggal 12 Agustus 2025, sambung Rinto, nominal senilai Rp 306 miliar yang disebut sebagai kerugian negara hanyalah estimasi kewajiban dan belum pernah direaliasikan lewat pembayaran ke Navayo International AG.
Padahal, kata Rinto, jika merujuk Pasal 1 nomor 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 25/PUU-XIV/2016 ditegaskan bahwa kerugian negara harus nyata, pasti, dan aktual.
"Tidak ada pembayaran yang dilakukan oleh Kemenhan atas invoice yang diajukan Navayo. Dengan demikian, tidak terdapat kerugian aktual atau actual loss," ucap dia.
Selain tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan, lanjut Rinto, kliennya juga tidak bertindak sebagai pengambil kebijakan. Kliennya hanya bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang disebutnya bertugas menjalankan fungsi administratif sesuai perintah dari atasannya.
"Klien kami bukan pengguna anggaran, bukan pihak yang mengatur proses pengadaan, dan bukan penentu pemenang kontrak. Bahkan, klien kami menunda pembayaran penandatanganan kontrak hingga DIPA tersedia pada Oktober 2016 dan bukan 1 Juli 2016 sebagaimana yang diberitakan," jelas dia.
Rinto juga membantah tudingan kliennya berupaya memperkaya diri sendiri, seperti tudingan yang dikenakan, yakni Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Menurut dia, kliennya tak pernah menerima keuntungan sama sekali dari proyek tersebut.
"Klien kami bahkan menghentikan pengiriman barang dari Navayo pada awal 2017 setelah mengetahui adanya wanprestasi," kata dia.
"Kami mendukung agar proses penegakkan hukum yang dilakukan Kejagung dapat membuka fakta yang sebenarnya tapi tidak mengorbankan orang yang bekerja secara jujur," lanjut dia.
Sebelumnya diberitakan, Kejagung menetapkan tiga tersangka dalam kasus itu yakni eks Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi, Anthony Thomas Van Der Hayden selaku perantara, dan CEO Navayo International Gabor Kuti.
Kasus bermula saat Kemenhan RI melalui tersangka Leonardi menandatangani kontrak dengan CEO Navayo International AG, Gabor Kuti, tentang perjanjian untuk penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang terkait (Agreement For The Provision Of User Terminal And Related Service And Equipment).