REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Deputi Direktur lembaga penelitian dan advokasi The PRAKARSA, Victoria Fanggidae, menyebut ambisi Indonesia di sektor industri hijau dan kendaraan listrik masih belum merefleksikan potensi sebenarnya. Menurutnya, dengan cadangan nikel terbesar di dunia dan pasar domestik yang masif, Indonesia justru bisa memimpin transisi energi hijau di kawasan jika memiliki tekad yang lebih kuat.
“Indonesia itu selalu digambarkan di berbagai tulisan di luar, kita selalu punch below our waist. Kenapa kita menetapkan target dan ambisi paling rendah, padahal kapasitas kita sebenarnya besar,” kata Victoria dalam diskusi bertajuk Aselerasi Kebijakan Industri Hijau sebagai Mesin Pembangunan Ekonomi, Kamis (14/8/2025).
Sebagai pembanding, pemerintah Vietnam telah menargetkan 100 persen kendaraan listrik di Hanoi mulai 2026. Sementara di Jakarta, targetnya baru sebatas peningkatan standar emisi dari Euro 2 ke Euro 4 pada 2025. “Ini menunjukkan ambisi kita dalam transisi masih rendah,” ujarnya.
Victoria menegaskan Indonesia memiliki sejumlah modal kuat untuk mengejar ketertinggalan, mulai dari cadangan nikel, pasar otomotif terbesar di Asia Tenggara, hingga peluang membangun rantai pasok kendaraan listrik dari hulu hingga hilir.
“Dengan perbaikan ekosistem EV dan pengembangan rantai pasok yang lengkap, kita tidak perlu khawatir soal pasar. Bahkan kita bisa jadi pusat industri hijau regional,” tambahnya.
Saat ini, 90 persen investasi EV masih didominasi China, sementara Indonesia baru menyerap kurang dari 5 persen. Tantangan terbesar, menurut Victoria, adalah kebijakan yang belum terintegrasi. Insentif belum berjalan efektif, integrasi data masih terbatas, dan sinergi antarlembaga belum solid.
Senada dengan itu, Sekretaris Kementerian Investasi/Sekretaris Utama BKPM, Heldy Satrya Putera, menyatakan dua isu kunci dalam pengembangan industri hijau di Indonesia adalah teknologi dan sumber daya manusia (SDM). Teknologi hijau yang masih mahal dan SDM yang belum mumpuni menjadi kendala utama.
“Hambatan pertama adalah teknologi baru, karena masih mahal. Implikasinya, harga jual produk hijau ikut mahal,” jelasnya.
Heldy menambahkan transisi energi terbarukan memang sudah mulai berjalan, tetapi belum mampu mengubah bauran energi nasional secara signifikan karena keterbatasan penguasaan teknologi dalam negeri dan kualitas SDM.
“Kita punya air, angin, dan geotermal yang melimpah, tetapi pemanfaatannya masih terkendala,” ujarnya.
Meski demikian, ia optimistis jika pemerintah intensif membangun pusat riset industri hijau, mempercepat transfer teknologi, dan memperkuat pendidikan vokasi, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dan bahkan menjadi basis industri hijau untuk kawasan Asia Pasifik.