Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dinilai punya peluang besar untuk memperluas pasar ekspor ikan tilapia seperti nila dan mujair, khususnya di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Namun, tantangan tetap mengintai, terutama dari Brasil yang pertumbuhan ekspornya tengah melesat.
Katimja Analis Pasar Luar Negeri, Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Helwijaya Marpaung menjelaskan, AS merupakan pasar utama tilapia dunia dengan tingkat serapan yang tinggi. Saat ini, China masih mendominasi dengan pangsa pasar 51,7%, disusul Kolombia, dan Indonesia di posisi ketiga.
"Karena Amerika Serikat sudah menerapkan (tarif). Jadi kalau kita lihat dari impor tilapia Amerika Serikat, China itu sudah menguasai 51,7% dari pasar AS, diikuti oleh Kolombia, dan Indonesia nomor 3. Tapi ini kan ada pengenaan tarif resiprokal dan sudah berlaku, Indonesia itu dikenakan sekitar 19%, lalu China itu 34% dan saat ini terancam menjadi 200%," jelas Helwijaya dalam Outlook Tilapia Indonesia tahun 2025 di kantor KKP, Jakarta, Kamis (28/8/2025).
Menurutnya, kondisi ini bisa saja membuka ruang bagi Indonesia untuk mengisi celah pasar AS yang ditinggalkan China.
"Nah ini mungkin.. kami gak tau nih apakah ini bisa dijadikan peluang, karena China kan sudah menguasai 51%, kira-kira apakah Indonesia bisa mengambil pasar China di Amerika Serikat, mungkin ini juga salah satu yang mungkin bisa didiskusikan," ujarnya.
Foto: Presiden Prabowo Subianto meninjau Tambak Budidaya Ikan Nila di BLUPPB, Karawang bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. (Instagram @prabowo)
Presiden Prabowo Subianto meninjau Tambak Budidaya Ikan Nila di BLUPPB, Karawang bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. (Instagram @prabowo)
Namun, peluang itu juga dibayangi oleh ancaman pesaing baru, yakni Brasil."Tapi memang ada juga yang menjadi ancaman kita, salah satunya adalah Brasil," sambungnya.
Helwi menuturkan, peningkatan ekspor tilapia Brasil di AS lumayan besar, mencapai 123,6% ekspor di tahun 2024 dibandingkan tahun 2023.
"Dan mereka juga dikenakan tarif resiprokalnya hanya 10%. Jadi ini juga mungkin menjadi salah satu kompetitor utama untuk kita merebut pasar China nantinya," kata Helwijaya.
Peluang di Eropa dan Kanada
Selain AS, Helwijaya menyebut Uni Eropa juga bisa menjadi pasar strategis. Indonesia kini menempati posisi kedua sebagai pemasok fillet tilapia beku dengan pangsa 12,6%, jauh di bawah China yang menguasai 82,1%.
"Presiden Prabowo kan akhirnya mempercepat untuk penyelesaian perundingan IEU-CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement). Jadi saat ini sudah finalisasi," ujarnya.
"Sebelumnya itu untuk fillet beku Indonesia kita supplier nomor 2 ke Uni Eropa, kita share-nya hanya 12,6%, sedangkan China itu 82,1%. Kalau misalkan nanti ada finalisasi untuk tarif yang Tilapia setelah adanya penyelesaian perundingan IEU-CEPA, tarif kita memang sudah disepakati oleh Uni Eropa untuk Tilapia menjadi 0%," imbuh dia.
Saat ini, ekspor tilapia Indonesia ke Eropa masih dikenai tarif 8%-9% (MFN) atau 4,5%-5,5% (GSP).
"Jadi kalau misalkan nanti perundingan IEU-CEPA sudah selesai, tarifnya akan menjadi 0%. Mudah-mudahan ini bisa menjadi peluang bagi tilapia Indonesia untuk masuk terus ke pasar Uni Eropa," lanjut Helwijaya.
Pasar Kanada pun disebut sangat potensial. Indonesia bahkan sudah menjadi pemasok nomor satu dengan pangsa 54,1%, mengungguli China yang 41,3%. Namun, Helwijaya mengingatkan agar tetap waspada.
"Dan untuk pasar Kanada ini mungkin juga kami menyampaikan agar hati-hati juga. Walaupun kita nomor satu, karena China-nya mungkin tarifnya sudah besar ke Amerika, bisa jadi dia akan switching ke pasar lain. Bisa jadi dia akan mengambil pasar-pasar seperti pasar Kanada yang sebenarnya kita sudah menguasai. Jadi mungkin ini menjadi satu warning juga bagi kita," pungkasnya.
(wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Uni Eropa Ngebet Kerja Sama Pendidikan & Pertanian dengan RI, Kenapa?