
Gedung Putih merilis kesepakatan persetujuan perdagangan resiprokal Indonesia-AS. Salah satu poin yang dibahas adalah mengenai transfer data pribadi.
Namun, kesepakatan ini menuai kekhawatiran masyarakat. Terkait hal ini, Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana, mengatakan transfer data yang jadi kekhawatiran masyarakat belum sampai pada kesepakatan antar dua negara.
"Adapun dokumen yang dijadikan dasar perdebatan adalah Pernyataan Bersama (Joint Statement), lengkapnya 'JOINT STATEMENT ON FRAMEWORK FOR UNITED STATES-INDONESIA AGREEMENT ON RECIPROCAL TRADE'. Saat ini, perjanjian resiprokal perdagangan sedang dinegosiasi oleh kedua negara," kata Hikmahanto dalam keterangannya, Jumat (25/7).
Penjelasan terkait transfer data, lanjut Hikmahanto, tercantum dalam paragraf kedua pernyataan bersama. Dalam paragraf itu, AS mengatakan Indonesia telah berkomitmen mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan digital, layanan dan investasi.
Lebih lanjut, AS menyatakan Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk mentransfer data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat.
"Dalam konteks digital trade, services and investment asal AS, konkretnya adalah Netflix, Spotify, Amazon dan lain-lain. Mereka dalam melakukan usaha di antaranya akan meminta nama pelanggan, alamat, nomor rekening bank. Hal tersebut merupakan data pribadi," ungkap Hikmahanto.
Dalam konteks itu, Hikmahanto mengatakan AS menuduh Indonesia melakukan hambatan atas data pribadi yang didapat perusahaan AS yang menjalankan usaha di Indonesia. Mengapa demikian?
"Semisal Netflix untuk melakukan usaha di Indonesia diwajibkan untuk mendirikan perseroan terbatas sebagaimana diatur oleh UU ITE. Bila ada data yang didapat oleh perusahaan Netflix di Indonesia, maka data tersebut bisa dikirim ke AS namun dengan syarat yang ketat berdasarkan UU Perlindungan Data Pribadi," jelasnya.

"Di sini lah pemerintah AS menghendaki adanya kepastian agar data yang sudah didapat dari perusahaan Indonesia asal AS bisa dikirim ke AS tanpa persyaratan," lanjutnya.
Menurut Hikmahanto, hal ini menjadi tantangan bagi para negosiator Indonesia. Sebab, persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan Indonesia dianggap pemerintah AS sebagai hambatan.
"Bila persyaratan ini harus dihapus oleh pemerintah Indonesia maka negara-negara lain, termasuk China, akan mendapat keuntungan. Di samping itu, bila AS berhasil berarti kedaulatan Indonesia dalam membuat peraturan bisa diintervensi oleh pihak asing -- sesuatu yang pasti ditentang oleh Presiden Prabowo," pungkasnya.