
REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Gereja Ortodoks di Gaza telah mengutuk serangan militer Israel di lingkungan Zaytoun sebelah timur Kota Gaza.
Pihak Gereja memperingatkan tujuan sebenarnya adalah pemusnahan dan pemindahan paksa penduduk.
"Ini tanah kami dan kami tidak punya tempat lain. Kami tidak akan pergi, apa pun konsekuensinya," kata Anggota Dewan Pembina Gereja Ortodoks Arab di Gaza, Elias Al-Jelda, dilansir Days of Palestine, Ahad.
Al-Jelda menggambarkan serangan itu sebagai “penghancuran sejati sejarah, tanah, dan setiap tanda keberadaan Palestina,” dan menuduh pasukan Israel secara sistematis menghancurkan rumah-rumah, melakukan pembunuhan massal, dan menghancurkan infrastruktur penting.
Ia mengatakan situasi ini mencerminkan “genosida dalam segala hal”, seraya mencatat bahwa warga sipil tidak memiliki tempat berlindung karena seluruh jalan diubah menjadi kuburan massal.
Pejabat Ortodoks tersebut memperingatkan serangan itu menargetkan beberapa situs suci Islam dan Kristen tertua di dunia dalam upaya untuk menghapus identitas dan ingatan Palestina.
Ia menekankan bahwa tindakan Israel merupakan “pembantaian” yang tidak menyisakan umat Muslim maupun Kristen, namun berdampak pada rakyat Palestina secara keseluruhan.
Sejak pekan lalu, lingkungan Zaytoun telah menghadapi pemboman terus-menerus. Sedikitnya hampir 400 rumah hancur akibat kombinasi pesawat tanpa awak yang meledak, serangan udara besar-besaran, dan tembakan artileri.
Penduduk setempat dan kelompok hak asasi mengatakan kampanye tersebut mencerminkan serangan Israel sebelumnya di Rafah, Khan Younis, dan Gaza utara. Serangan itu telah menyebabkan seluruh distrik diratakan untuk memaksa pengungsian massal.
Serangan itu terjadi kurang dari sebulan setelah pasukan Israel mengebom Gereja Keluarga Kudus di Gaza timur, salah satu lembaga Kristen tertua di daerah kantong itu.
Serangan itu menewaskan tiga orang dan melukai sembilan lainnya, termasuk pastor paroki Pastor Gabriel Romanelli.
Gereja tersebut, yang berafiliasi dengan Patriarkat Latin di Yerusalem, sejak itu menjadi tempat perlindungan bagi warga sipil, khususnya keluarga-keluarga Kristen yang mengungsi akibat perang.
Para pemimpin Kristen di Gaza telah menyerukan masyarakat internasional untuk segera campur tangan guna menghentikan apa yang mereka gambarkan sebagai kampanye genosida, melindungi penduduk, dan menjaga tempat-tempat suci yang terancam kehancuran.
Drone Israel Bunuh Gadis Gaza saat Ambil Air
Rekaman yang mengganggu telah muncul dari Gaza utara yang menunjukkan momen ketika pesawat tak berawak Israel menargetkan dan membunuh seorang gadis Gaza Palestina, saat ia mencoba mengambil air untuk keluarganya di Jabalia.
Menurut Palestine Online, anak tersebut, yang sudah menderita kelaparan dan kehausan di tengah krisis kemanusiaan yang semakin dalam di Gaza, terkena rudal yang ditembakkan dari pesawat pengintai Israel.
Para saksi mengatakan ia tengah membawa air saat serangan itu langsung membunuhnya, meninggalkan tubuh kecilnya dalam pecahan-pecahan hangus.
Peristiwa ini menggarisbawahi kenyataan pahit bagi warga sipil di Gaza, di mana pasukan Israel terus menargetkan wilayah pemukiman dan warga sipil tanpa memandang usia atau jenis kelamin.
Daerah seperti Jabalia, Zeitoun, Shuja'iyya, dan Tuffah telah dinyatakan sebagai “zona merah” oleh pasukan pendudukan Israel, yang terus-menerus dibombardir melalui darat dan udara.
Baru minggu lalu, rekaman drone terpisah mengungkap kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh lingkungan Gaza timur. Sekaligus mendokumentasikan seluruh jalan, rumah, dan infrastruktur berubah menjadi puing-puing.
Sejak Oktober 2023, kejahatan penjajah Israel yang sedang berlangsung di Gaza telah digambarkan oleh kelompok hak asasi manusia dan pengamat internasional sebagai genosida.
Kampanye genosida mencakup pembunuhan massal, kelaparan sistematis, penghancuran infrastruktur sipil, dan pemindahan paksa. Ini semua bertentangan dengan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan perintah dari Mahkamah Internasional yang menuntut diakhirinya kekerasan.
Otoritas kesehatan di Gaza melaporkan bahwa perang telah merenggut lebih dari 61.000 nyawa, melukai 154.088 orang, dan membuat ratusan ribu orang mengungsi.
Lebih dari 9.000 orang masih hilang, sementara kondisi kelaparan telah menewaskan sedikitnya 227 orang, termasuk 103 anak-anak.
Kematian gadis muda di Jabalia menjadi pengingat nyata mengenai meningkatnya jumlah korban sipil di Gaza. Saat ini kelangsungan hidup dasar, seperti tindakan sederhana mengambil air, telah menjadi risiko yang mematikan.
Mila