Wakil Ketua DPR RI sebelumnya mengemukakan gagasan ini dalam pembahasan bersama Komisi XIII DPR dan para musisi, dengan tujuan memastikan hak cipta seniman terpenuhi. Namun, di sisi lain, EO menilai kebijakan ini belum mempertimbangkan kondisi pasar di daerah yang berbeda dengan kota besar seperti Jakarta.
“Kebijakan ini membuat EO harus menanggung risiko lebih besar,” kata Ahmad Rifqi, President Director Mind Corp, Sabtu (23/8/2025).
Menurut Rifqi, jika aturan ini diterapkan, EO hanya punya dua pilihan: menaikkan harga tiket dengan risiko minat penonton menurun atau menanggung biaya tambahan sendiri yang dapat menggerus margin keuntungan.
“Kalau di Jakarta mungkin bisa, tapi di Palembang sulit. Bisa jadi konser jadi sepi karena tiket terasa mahal,” jelasnya.
Ia juga menyoroti perbedaan antara mekanisme pembayaran royalti dan izin acara yang selama ini berjalan terpisah. Royalti dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atau WAMI, sedangkan izin konser berada di bawah kewenangan kepolisian.
“Secara prinsip, kebijakan ini positif untuk perlindungan hak cipta. Tapi sayangnya, belum sepenuhnya melibatkan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), padahal industri musik ini saling terkait,” ujarnya.
Rifqi menilai diperlukan dialog melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar kebijakan yang dirumuskan adil dan tidak menekan penyelenggara. Menurutnya, jika konser gagal atau tidak memenuhi target, EO akan menanggung kerugian berlapis.
“Alih-alih mendorong pertumbuhan, beban tambahan ini justru bisa mematikan industri hiburan di daerah,” tambahnya.
Kekhawatiran serupa disampaikan Rud Bowie, pelaku show management di Palembang. Ia mengaku belum ada pembahasan detail terkait wacana tersebut di level daerah.
“Sejauh ini belum ada bahasan serius soal royalti. Mungkin karena di Palembang belum terlalu dipermasalahkan,” ungkapnya.
Meski begitu, Rud menegaskan bahwa dalam bisnis konser, royalti memang menjadi kewajiban promotor.
“Kalau event konser, urusan royalti kembali ke promotornya. Itu sudah hal yang wajar,” ujarnya.
Keduanya sepakat bahwa royalti merupakan hak yang harus diterima seniman. Namun, mereka menyoroti transparansi distribusi dana royalti agar tepat sasaran.
“Jangan sampai aturan ini malah membuka celah korupsi dan musisi justru tidak menerima haknya secara penuh,” kata Rud.