REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG BARAT -- Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Bandung Barat (KBB) mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan mencapai 62 kasus.
"Di tahun ini dari Januari sampai Agustus kami sudah menerima 62 kasus dengan jumlah korban lebih dari itu, karena satu kasus korbannya bisa beberapa," ujar Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada DP2KBP3A) KBB, Rini Haryani, Sabtu (23/8/2025).
Rini merinci jumlah itu terdiri dari kasus kekerasan terhadap anak ada 34, kekerasan terhadap perempuan sebanyak 12, kemudian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ada 16 kasus, sementara kasus trafficking belum ada laporan.
Kasus yang paling mendominasi, adalah kekerasan pada anak. Seperti ada kasus anak yang dirudapaksa oleh ayah tirinya hingga hamil, namun ironisnya oleh sang ibu malah diusir. Sementara untuk KDRT kebanyakan kasusnya muncul karena faktor ekonomi.
Sementara itu untuk kasus KDRT di KBB sebagain besar tidak berlanjut ke laporan pidana di polisi. Kasusnya hanya sebatas dilaporkan ke DP2KBP3A lalu diberi penanganan dan pendampingan. "Biasanya banyak pertimbangan dari wanita atau korban KDRT, misalnya masih ingin menyelamatkan perkawinan demi anak-anaknya, atau karena masih ketergantungan ke suami," kata Rini.
Selain itu, kata Rini, pertimbangan lainnya perempuan korban KDRT juga memiliki kekhawatiran jika nanti setelah proses hukuman selesai suami dan keluarganya balas dendam. Sebab hukuman pelaku KDRT biasanya kurang dari 10 tahun.
Oleh karena itu, pihaknya menggulirkan Program Peka (Perempuan Kepala Keluarga) agar perempuan bisa berdaya dan produktif. Sehingga ketika suami melakukan tindakan di luar batas kewajaran mereka bisa hidup mandiri meski lepas dari suami.
"Tapi manakala suami ada dan bisa melaksanakan fungsi sebagai kepala keluarganya, perempuan produktif bisa jadi ikut membantu ekonomi keluarga," katanya.
Rini mengaku, jika setiap tahun tren kasus kekerasan perempuan dan anak di KBB laporannya cenderung meningkat. Ini salah satunya dikarenakan masyarakat sudah mulai berani untuk lapor.
Menurutnya, berdasarkan data dari 1,8 juta jiwa penduduk KBB terdiri dari 49 persen laki laki dan 51 persen perempuan. Untuk kasus kekerasan perempuan dan anak tahun 2021 ada 17 kasus, kemudian di tahun 2022 pelaporan langsung naik jadi 217 persen atau jadi 54 kasus.
Kemudian di tahun 2023 ada 64 kasus yang dilaporkan, di antaranya KDRT 25 persen, kekerasan pada perempuan 17 persen, dan kasus-kasus lainnya. Sementara di tahun 2024 pelaporan yang masuk mencapai 65 kasus. Rinciannya ada tambahan kasus TPPO 5 persen yang didominasi anak-anak.
"Jumlah kasus pelaporan paling banyak seperti dari Kecamatan Cihampelas dan Ngamprah," kata Rini.