
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) buka suara soal ancaman 18 paket pembatasan atau sanksi yang menargetkan perdagangan minyak Rusia, sebagai bentuk kecaman atas invasi di Ukraina.
BUMN migas asal Rusia, Zarubezhneft lewat anak usahanya di Asia, ZN Asia Ltd (ZAL), baru saja ditetapkan sebagai operator baru Blok Tuna. ZAL menggantikan mitranya, Harbour Energy, yang hengkang dari blok migas tersebut.
Harbour Energy dan ZAL sebelumnya bermitra di Blok Tuna dengan masing-masing memiliki 50 persen hak partisipasi atau participation interest (PI). Namun, perkembangan blok tersebut terdampak sanksi Uni Eropa dan Inggris selama eskalasi konflik Rusia dan Ukraina.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Hudi D. Suryodipuro, mengatakan Blok Tuna sudah mendapatkan persetujuan plan of development (PoD) Blok Tuna, yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh operator baru.
Selain itu, dia juga meminta jika ada isu-isu yang harus diantisipasi terkait sanksi dari Uni Eropa, maka ZAL perlu langsung menyampaikan kepada pemerintah maupun SKK Migas.
"Kalau pun nanti ada isu-isu yang perlu diantisipasikan, ya harapan kita mereka juga segera menyampaikan kepada kita, kira-kira ada apa," ungkap Hudi kepada awak media di Jakarta, Jumat (25/7).
Baru-baru ini, Uni Eropa melancarkan sanksi kepada kilang minyak Nayara Energy milik India. Sebanyak 49,13 persen saham kilang tersebut dimiliki oleh perusahaan asal Rusia, Rosneft.
Namun sejauh ini, Hudi menyebutkan keputusan berdasarkan evaluasi menetapkan ZAL sebagai operator Blok Tuna, apa pun masalah yang terjadi maka perusahaan tersebut semestinya tetap menjalankan proyeknya.
"Karena kan proyek ZN bukan hanya di Indonesia saja, untuk terkait dengan itu, dan mereka kan pasti sudah bisa berjalan sendiri," jelasnya.
Adapun ZAL akan mencari mitra lain untuk menggarap Blok Tuna bersama-sama. SKK Migas menyebutkan ada beberapa perusahaan mulai tertarik membuka data, meskipun dia enggan menjelaskan dengan rinci.
SKK Migas menargetkan Blok Tuna bisa mulai berproduksi (on stream) pada tahun 2028-2029. Target ini sejatinya mundur dari rencana awal yakni ditargetkan on stream pada tahun 2026-2027.
Pasalnya, Blok Tuna sudah mendapatkan persetujuan rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) pada Desember 2022. Imbas kemelut ini, Harbour Energy pun harus menunda investasi akhir atau Final Investment Decision (FID) menjadi 2025.
Dikutip dari Bloomberg, Uni Eropa pada hari Jumat mengadopsi paket pembatasan ke-18 yang menargetkan Rusia dan perdagangan minyaknya sebagai bentuk kecaman atas invasi di Ukraina.
Langkah-langkah tersebut mencakup sanksi terhadap fasilitas pemrosesan minyak mentah India, di mana Rosneft memegang 49,13 persen sahamnya, karena blok tersebut berupaya mengurangi pendapatan energi Rusia yang selama ini didukung oleh ekspor minyak mentah Rusia ke India.
Nayara Energy "dikenakan pajak sepenuhnya di India," demikian pernyataan Rosneft di situs webnya pada hari Minggu. "Para pemegang saham Nayara Energy tidak pernah menerima pembayaran dividen dan akumulasi laba telah digunakan secara eksklusif untuk pengembangan kilang, petrokimia, dan jaringan ritel perusahaan di India," demikian pernyataan tersebut.
Nayara mengoperasikan kilang berkapasitas 400.000 barel per hari dan memiliki hampir 7.000 gerai bahan bakar di seluruh India. Perusahaan ini juga sedang mengembangkan pabrik petrokimia terintegrasi di samping kilangnya.
Kepemilikan Nayara saat ini dibagi antara Rosneft dan konsorsium investasi SPV Kesani Enterprises Co., sementara sisa sahamnya dipegang oleh investor ritel. Produsen minyak Rusia tersebut ingin keluar dari usaha patungan di India karena perusahaan tersebut belum dapat memulangkan pendapatannya akibat sanksi, menurut laporan media lokal.