
Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) resmi mengeluarkan surat penangkapan terhadap dua pimpinan Taliban pada pekan pertama Juli 2025. Surat penangkapan ini dikeluarkan atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, di mana Taliban diduga melakukan pembatasan gerak dan hak perempuan Afghanistan.
Dilansir AFP, dalam keterangan resmi, ICC menegaskan bahwa Taliban secara spesifik menargetkan perempuan dan anak perempuan dalam aturan-aturan ketat mereka.
“Meskipun Taliban telah menetapkan aturan dan larangan tertentu terhadap penduduk Afghanistan secara keseluruhan, mereka secara spesifik menargetkan perempuan dan anak-anak perempuan atas alasan gender mereka; melanggar hak asasi dan kebebasan mereka,” tegas ICC, dikutip kumparanWOMAN pada Jumat (25/7).

Surat perintah penangkapan tersebut ditujukan kepada pemimpin Taliban, Hibatullah Akhundzada, dan pimpinan hukum di Afghanistan, Abdul Hakim Haqqani. ICC mengatakan, mereka telah memiliki dasar yang kuat untuk melayangkan surat penangkapan terhadap Akhundzada dan Haqqani.
Menurut ICC, pelanggaran hak perempuan ini dilakukan Taliban sejak mereka mengambil alih kekuasaan Afghanistan pada 15 Agustus 2021 lalu hingga Januari 2025. ICC menuding Taliban merenggut hak perempuan dan anak perempuan atas pendidikan, privasi, kehidupan keluarga, serta kebebasan dalam bergerak, berekspresi, berpikir, dan kebebasan beragama.
Dikutip dari The Guardian, aktivis HAM Afghanistan menyebut tindakan Taliban sebagai apartheid gender, di mana mereka melakukan diskriminasi dan segregasi berdasarkan gender.

“Selama empat tahun, Taliban memerintahkan kami untuk bungkam, diam di rumah, menutup wajah kami, melepaskan pendidikan kami, suara kami, dan mimpi kami. Sekarang, mahkamah internasional mengatakan: Cukup. Ini adalah kejahatan. Meskipun Akhundzada dan Haqqani tidak pernah duduk di persidangan, mereka membawa jejak kriminal internasional. Mereka bukan lagi pimpinan Afghanistan, mereka adalah buronan,” ucap aktivis perempuan Afghanistan yang kini tinggal di Kanada, Tahera Nasiri.
Taliban langsung membantah tudingan ICC tersebut. Dikutip dari Al Jazeera, juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid justru menyentil kegagalan ICC dalam melindungi ratusan perempuan dan anak perempuan Gaza yang tewas dibunuh tentara Israel setiap harinya.
“Pimpinan dan pejabat Imarah Islam telah mendirikan keadilan di Afghanistan yang berbasis hukum syariat Islam,” kata Zabihullah Mujahid dalam keterangannya.

Sejak 2021, para perempuan di Afghanistan dilaporkan kehilangan akses untuk mengenyam pendidikan formal. Menurut estimasi PBB pada 2024, setidaknya 1,4 juta anak perempuan di Afghanistan tidak diizinkan bersekolah. Selain itu, para perempuan dilarang untuk bekerja formal di berbagai sektor, termasuk di pemerintahan.
Tahun lalu, Taliban mengeluarkan undang-undang yang dianggap semakin membatasi gerak perempuan di ruang publik. Para perempuan dilarang untuk berbicara, bernyanyi, bahkan bersuara di publik, demi menghindari suara mereka terdengar. Alasannya, suara perempuan dikhawatirkan mengundang perilaku buruk.
Menurut Al Jazeera, salon-salon kecantikan di Afghanistan juga ditutup. Perempuan dilarang berjalan-jalan di taman, bahkan tak boleh terlihat dari luar saat mereka berada di dalam rumah.

Surat penangkapan terhadap Akhundzada dan Haqqani disambut baik oleh lembaga-lembaga HAM dunia seperti Amnesty International. Mereka berharap, surat penangkapan ini bisa menjadi bentuk harapan bagi para perempuan Afghanistan yang suara dan geraknya terus dibatasi.
“Ini merupakan langkah krusial untuk mendesak mereka untuk bertanggung jawab atas dugaan pelanggaran hak berbasis gender terhadap pendidikan, kebebasan pergerakan, kebebasan berekspresi, kehidupan pribadi dan keluarga, kebebasan berkumpul, integritas serta otonomi fisik,” tegas pimpinan Amnesty International, Agnes Callamard, dalam keterangan resmi.
ICC, yang berbasis di Den Haag, Belanda, tidak memiliki kekuatan untuk melakukan penangkapan. Yang bisa menjalani perintah tersebut adalah anggota ICC yang terdiri dari 124 negara di dunia.