
Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta kembali digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (31/7). Ahli Hak Cipta, Marulam J. Hutauruk hadir bersama ahli hukum pidana, Doktor Albert Aries, untuk memberikan keterangan.
Marulam, yang juga seorang Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), merasa prihatin dengan polemik performing rights yang tak kunjung usai.
"Profesi saya juga 12 tahun sebagai entertainer. Sedih, memang," kata Marulam saat membuka kesaksiannya di hadapan majelis hakim.

Dalam kesaksiannya, Marulam menyoroti bahwa pelarangan pencipta lagu terhadap penyanyi justru berpotensi mematikan kreativitas dan tidak sejalan dengan semangat apresiasi karya.
Marulam mengutip konteks internasional, khususnya dalam berbagai konvensi hak cipta, bahwa tindakan pertunjukan langsung (public performance) seringkali tidak memerlukan otorisasi atau izin khusus dari pencipta.
Hak otorisasi dari pencipta umumnya lebih ditekankan pada tahap pra-produksi, seperti pembuatan rekaman atau untuk musik dalam sebuah drama (dramatical music).

"Di konvensi internasional, tindakan pertunjukan disebut tidak membutuhkan otorisasi dari pencipta. Memberikan right kepada pencipta itu hanya membutuhkan otorisasi saat pre-production," jelasnya.
Oleh karena itu, Marulam khawatir hak melarang yang diterapkan secara kaku dapat menjadi sebuah tindakan yang tidak beralasan.
"Pelarangan seperti ini dikhawatirkan menjadi tidak beralasan. Kalau pun melarang, itu harus mempertimbangkan itikad baik dari si pengguna karya tersebut," tuturnya.
Tiga Faktor Penentu
Ada tiga faktor yang menurut Marulam perlu menjadi pertimbangan sebelum pencipta lagu melarang penyanyi membawakan lagunya.
Pertama, apakah pertunjukan tersebut bersifat komersial. Kedua, bagaimana jumlah dan kualitas penggunaannya.
"Dan ketiga itu, bagaimana pengaruhnya terhadap kontribusi pasar dari karya tersebut. Artinya, ketika penyanyi bawakan lagu orang, otomatis orang bisa dengarkan lagi lewat Spotify misalnya. Itu berarti ada kontribusi pasar kepada pencipta," ucap Marulam.
Menurut Marulam, satu-satunya kondisi di mana pelarangan dapat dibenarkan adalah ketika sebuah lagu dibawakan dengan tujuan untuk mengolok-olok atau menghancurkan reputasi sang pencipta.
"Mengenai lagu yang dibawakan itu tidak boleh mengolok atau menghancurkan reputasi pencipta. Kalau tidak ada, ya tidak boleh ada pelarangan itu," tegasnya.

Marulam berharap harapannya agar majelis hakim Mahkamah Konstitusi dapat memberikan interpretasi yang jernih dan final terkait persoalan ini.
Hal ini dianggap krusial untuk memberi kepastian mengenai sejauh mana hak seorang pencipta melarang karyanya digunakan oleh pihak lain.
"Saya berharap sekali majelis hakim bisa interpretasikan seperti apa. Apakah pencipta punya hak melarang atau tidak," tutur Marulam.
Marulam menekankan bahwa pelarangan yang "unreasonable" hanya menjadi maut yang mematikan denyut kreativitas di industri musik Indonesia.
"Oleh karenanya, tindakan menyanyikan lagu orang lain, itu juga bentuk apresiasi. Pelarangan hanya mematikan kreativitas," tutup Marulam.