REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Film animasi bertema kebangsaan, Merah Putih: One for All, yang dijadwalkan tayang menjelang HUT ke-80 RI, tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan warganet. Alih-alih mendapatkan sambutan meriah, film ini justru menuai kritik tajam, terutama terkait kualitas visual dan teknis produksi yang dinilai tidak layak tayang di layar lebar.
Terkait kontroversi ini, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif (Wamenekraf), Irene Umar, menegaskan bahwa kementeriannya tidak memberikan dukungan finansial maupun fasilitas promosi untuk film tersebut. Pernyataan ini disampaikan Irene melalui Instagram Story pribadinya setelah publik mempertanyakan peran Kemenekraf. "Kami tidak memberikan bantuan finansial dan tidak memberikan fasilitas promosi kepada film tersebut," tulis Irene, dikutip pada Senin (11/8/2025).
Irene juga menjelaskan bahwa kementeriannya sempat menerima audiensi dari tim produksi film. Dalam pertemuan tersebut, ia memberikan masukan teknis seputar cerita, karakter, visual, hingga trailer. Namun, menurutnya, hal ini adalah bagian dari rutinitasnya dalam berinteraksi dengan para pegiat ekonomi kreatif. "Hal ini selalu saya lakukan di setiap audiensi dengan semua pihak supaya bisa mendengar langsung dari pelaku industri dan memberikan feedback berdasarkan pengalaman saya," ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Irene mengapresiasi semangat para sineas Indonesia yang ingin memajukan industri film dan animasi, serta membuka ruang diskusi bagi siapa pun yang masih memiliki pertanyaan terkait peran kementeriannya. "Terima kasih untuk semangat teman-teman yang ingin industri animasi dan film untuk terus maju. I truly appreciate it," kata dia.
Kritik terhadap film Merah Putih: One for All membanjiri media sosial. Warganet menyoroti beberapa aspek krusial yang dianggap sangat minim untuk sebuah film layar lebar. Salah satu kritik yang paling mencolok adalah dugaan penggunaan aset visual yang tidak orisinal.
Seorang pengguna X dengan akun @Robe* menyebut bahwa karakter dalam film tersebut diduga kuat menggunakan aset dari Reallusion, sebuah platform penyedia model karakter 3D, tanpa adanya modifikasi yang signifikan. "Bayangin film animasi tayang di layar lebar yang nyomot dari aset orang lain itu kek 'Huh'?" tulisnya.
Tak hanya soal orisinalitas, aspek teknis lainnya juga menjadi sasaran kritik. Pengguna Instagram dengan akun @rkh* mengomentari pencahayaan, ambient occlusion, dan tekstur material yang dianggap sangat minim.
Menurutnya, pencahayaan dalam film tersebut terasa datar dan tidak realistis, tidak mencerminkan iklim tropis Indonesia, serta tidak menunjukkan detail yang mendalam. Ia bahkan menyindir dengan kalimat, "Seriusan Pak, light nodes-nya dihapus? Ya jadi flat-lah lighting-nya. Konsistensi color grading nggak ada. Air kayak agar-agar."
Film animasi ini dikabarkan menghabiskan biaya produksi yang tidak sedikit. Sebuah unggahan di Instagram yang menyertakan akun produser Toto Soegriwo menyebutkan bahwa film berdurasi 70 menit ini menelan biaya hingga Rp 6,7 miliar. Angka fantastis ini membuat warganet semakin terheran-heran dengan hasil akhir yang terlihat.
Selain kritik teknis, kampanye pemasaran film ini juga tidak luput dari sorotan. Akun @yum* di media sosial mengungkapkan bahwa awalnya ia mengira poster film tersebut hanyalah candaan khas perayaan 17 Agustusan. "Ternyata benar tayang di bioskop, tiketnya Rp16 ribu. Tapi pas lihat trailernya, ternyata bukan parodi," ujarnya.
Warganet lantas membandingkan Merah Putih: One for All dengan film animasi lokal lain yang dianggap lebih baik, seperti Jumbo atau bahkan serial televisi "Keluarga Somat". "Gue mending nonton 'Keluarga Somat', denger Pak RT ngomong 'demi kesejahteraan bersama' 1000x juga gapapa," tulis akun @see*. Film Merah Putih: One for All mengisahkan sekelompok anak dari berbagai latar belakang budaya yang bersatu untuk menjalankan misi penyelamatan bendera pusaka yang hilang menjelang perayaan 17 Agustus.