
WAHANA Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat dalam satu dekade 2014-2024 telah terjadi 1.131 kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Pola kekerasan yang dilakukan oleh polisi menunjukkan transformasi institusi ini menjadi alat represi negara.
"Secara nasional Walhi mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh aparat Kepolisian RI terhadap peserta aksi demonstrasi yang berlangsung sejak 25 Agustus 2025 di berbagai kota. Tindakan ini melanggar hak-hak dasar warga negara dan mencerminkan kegagalan negara dalam merespons aspirasi publik secara adil dan demokratis," tegas Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Raden Rafiq Wibisono, Rabu (3/9).
Begitu juga dengan pola kekerasan yang dilakukan oleh Polri yang menunjukkan transformasi institusi ini menjadi alat represi negara. Dalam catatan Walhi, sejak 2014 hingga 2024, terdapat 1.131 kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan.
Ini bukan penegakan hukum yang berkeadilan, melainkan upaya sistematis membungkam demokrasi dan partisipasi publik dalam proses politik. Disisi lain pernyataan Presiden Prabowo yang menuding demonstrasi sebagai tindakan makar dan terorisme berpotensi memperkuat legitimasi kekerasan aparat.
Pendekatan retoris yang menebar ketakutan dan menutup ruang dialog bukanlah bentuk kepemimpinan yang solutif. Walhi mendesak Presiden untuk mencabut izin penggunaan kekuatan berlebih oleh Polisi dan TNI, karena hanya akan memperluas lingkaran kekerasan dan menambah korban jiwa.
"Demonstrasi ini merupakan ekspresi politik yang sah dan dijamin oleh konstitusi. Ia lahir dari keresahan kolektif atas berbagai persoalan struktural yang diabaikan pemerintah, seperti perampasan ruang hidup dan ketimpangan pengelolaan sumber daya alam," kata Rafiq.
Namun, bukannya membuka ruang dialog yang konstruktif dan menunjukkan empati terhadap aspirasi rakyat, pemerintah justru memilih pendekatan koersif yang berujung pada hilangnya nyawa warga seperti Affan Kurniawan, pengemudi ojek online di Jakarta, hingga Rheza Shendy, mahasiswa di Yogyakarta.
Gelombang protes ini merupakan akumulasi kekecewaan terhadap DPR yang selama satu dekade mengesahkan regulasi yang memperlemah perlindungan lingkungan dan memperkuat eksploitasi ruang hidup. UU Cipta Kerja, KSDAHE, IKN, dan revisi UU Minerba adalah contoh kebijakan yang diabaikan proses partisipatifnya. Di tengah ketimpangan tersebut, DPR justru menikmati kenaikan tunjangan dan fasilitas, memperlebar jarak antara wakil rakyat dan rakyat. (DY/E-4)