
PENGAMAT politik dari Citra Institut Efriza menilai besarnya gaji dan tunjangan anggota DPR tidak sebanding dengan kondisi mayoritas masyarakat. Kesenjangan yang begitu lebar berpotensi memperburuk citra politik dan menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
Ia menegaskan, pembahasan mengenai reformasi gaji nasional seharusnya tidak berhenti pada isu penghasilan pejabat publik. Penyesuaian juga harus menyentuh tingkat upah minimum rakyat yang hingga kini masih jauh dari kata layak.
"Diharapkan pemerintah dan DPR berbenah dengan melakukan pembahasan dengan serius mengenai reformasi gaji nasional, jadi tidak sekadar wacana penyesuaian gaji dan tunjangan pejabat publik," kata Efriza saat dihubungi, Rabu (3/9).
Ia mencontohkan, masih banyak tenaga honorer, termasuk guru, yang menerima gaji sangat minim. Ada yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mengajar, tetapi hanya memperoleh Rp200 ribu per bulan. Kontras dengan itu, anggota DPR bisa menerima take home pay lebih dari Rp100 juta.
Menurut Efriza, pejabat publik seharusnya memiliki kesadaran dan empati politik agar tidak terlihat hidup di menara gading. Ia menilai fasilitas dan gaji bukan berarti tidak pantas diberikan, tetapi harus rasional, proporsional, serta berbanding lurus dengan kinerja dan capaian kebijakan.
"Jika penghasilan pejabat tetap terlalu tinggi tanpa disertai akuntabilitas, kinerjanya juga minim, dan kesenjangan dengan pendapatan maupun UMR masyarakat, maka persepsi publik akan semakin negatif terhadap DPR khususnya," ujarnya.
Ia juga menyinggung soal kebijakan efisiensi anggaran Presiden Prabowo Subianto yang tidak diikuti dengan pembahasan pemangkasan pendapatan DPR. Sebaliknya, pemerintah justru kerap mengeluarkan kebijakan yang menambah beban rakyat, seperti rencana kenaikan iuran BPJS tahun 2026 mendatang.
Situasi ini, menurutnya, membuat demonstrasi publik sulit dihindari. Demonstrasi menjadi tanda ketidakpercayaan rakyat terhadap elite politik yang dianggap lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada pengabdian.
Kondisi tersebut diperparah dengan minimnya transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran. Efriza menilai tingginya gaji DPR menjadi tidak etis apabila tidak diimbangi kinerja nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
"Jika kinerja tidak memuaskan masyarakat, transparansi penggunaan anggaran tidak jelas, tetapi gaji dan tunjangan tetap besar, maka dasar untuk kita melakukan pembenaran pendapatan DPR yang fantastis, sesuatu yang tidak masuk akal," kata Efriza.
Ia menekankan, persoalan gaji anggota DPR bukan sekadar nominal, tetapi soal rasa keadilan, kepantasan, dan legitimasi politik. Lebih jauh, isu ini juga memperlihatkan bagaimana nilai keadilan sosial dalam Pancasila semakin jauh dari realitas hidup rakyat.
Apabila tidak segera diatur dengan bijak, kata Efriza, perbedaan mencolok antara penghasilan pejabat dan rakyat bisa menjadi bahan bakar berulang untuk kritik tajam serta memperkuat tuntutan reformasi kelembagaan. (M-1)