Pada suatu pagi yang tenang, di atas atap dan tiang bambu yang menjulang, atau bahkan pada truk-truk barang yang berlalu-lalang, berkibarlah sehelai bendera hitam berlogo tengkorak bertopi jerami—simbol bajak laut yang mengarungi Grand Line dalam serial fiksi “One Piece”. Fenomena ini—yang belakangan ramai di pelbagai penjuru negeri, dari Jakarta hingga Jombang, dari kampus hingga kampung—telah menimbulkan riak diskusi publik. Sebagian menganggapnya ancaman terselubung, simbol perlawanan, atau bahkan sinyal kekacauan. Namun mari kita beri ruang pada tafsir yang lebih ringan, lebih cerdas, dan lebih jenaka. Sebab demokrasi bukanlah taman yang tandus dari tawa. Dan bendera One Piece, sejatinya, bukanlah fragmen ironi.
Dari Layar ke Tiang: Manifestasi Fandom dalam Ruang Publik
Pengibaran bendera bajak laut Straw Hat Pirates tidak lahir dari rahim revolusi, melainkan dari semangat hiburan dan keterhubungan. Fenomena ini lebih tepat dibaca sebagai ekspresi “participatory fandom” dalam era media konvergensi. Henry Jenkins dalam karyanya Convergence Culture menjelaskan bahwa para penggemar hari ini tidak sekadar mengonsumsi, tetapi juga menciptakan dan mendistribusikan makna. Ketika seorang remaja mengibarkan bendera Luffy, ia tidak sedang menyerukan makar, melainkan menyatakan cinta pada cerita.
Budaya populer telah lama menjadi wahana bagi masyarakat untuk mengekspresikan aspirasi dan afeksi. Dalam konteks ini, One Piece adalah metafora harapan: tentang keberanian menantang arus, tentang solidaritas dalam kru, dan tentang pencarian makna hidup dalam dunia yang rumit. Bendera yang berkibar bukan simbol amuk, tapi lambang mimpi. Maka membacanya sebagai bentuk ancaman negara adalah seperti menuduh tukang siomay sebagai penjaja paham radikal—absurd tapi menggelikan.
Negara yang Kuat Tidak Terganggu oleh Kartun
Negara, dalam banyak hal, sering terjebak dalam refleks defensif. Ia kerap membaca tiap ekspresi non-tradisional sebagai gangguan stabilitas. Fenomena ini tidak asing dalam teori Michel Foucault tentang biopolitik, yakni bagaimana kekuasaan modern mengatur kehidupan bukan hanya melalui larangan, tetapi juga melalui pengawasan atas norma. Dalam penglihatan kekuasaan yang panoptikal, segala yang tak dikenal adalah potensi ancaman.
Namun pertanyaan mendasarnya adalah: apakah negara begitu rapuh hingga harus gentar pada bendera dari dunia fiksi?
Demokrasi adalah ruang yang harus tahan tertawa, bahkan pada lelucon yang mengarah ke tubuhnya sendiri. Negara yang sehat tidak mencurigai warganya ketika mereka menertawakan atau bermain-main dengan simbol. Ia justru tumbuh dari kepercayaan terhadap kedewasaan publik. Reaksi yang terlalu cepat terhadap sesuatu yang sesederhana bendera One Piece justru menampilkan kesan negara yang gagap menghadapi kultur populer.
Dalam dunia demokrasi yang inklusif, ekspresi seperti ini bukan untuk direpresi, tetapi untuk dimaknai. Bahkan, dalam kerangka demokrasi deliberatif ala Jürgen Habermas, tindakan semacam ini bisa dibaca sebagai bentuk komunikasi simbolik yang harus ditempatkan dalam ruang publik, bukan dibungkam lewat paranoia negara.
Jadi, jika ada anggapan bahwa pengibaran bendera ini sebagai sebuah bentuk ancaman, kita sedang meremehkan kekuatan negara. Pemerintah Indonesia hari ini memiliki sistem dan konstitusi yang kuat secara persisten. Kita punya pemilu, punya sistem hukum, punya aparat, dan punya rakyat yang pada umumnya baik-baik saja (asal sinyal lancar dan minyak goreng tidak langka).
Karenanya, mari kita jujur saja, bahwa negara ini tidak akan tumbang hanya karena seseorang mengibarkan bendera kartun. Justru sebaliknya, negara yang kuat adalah negara yang tahu kapan harus tersenyum. Bahwa rakyat kadang hanya sedang ingin merasa bahagia—dan kebetulan yang mereka pilih sebagai simbolnya adalah Luffy, bukan Lenin.