Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin, menilai kebijakan ini bisa langsung memukul daya saing produk Indonesia dalam jangka pendek.
“Tarif atas barang kita 19 persen ke AS tentunya membuat barang dan jasa kita menjadi lebih mahal bagi konsumen di Amerika Serikat. Konsekuensi jangka pendek yang paling mudah dibayangkan adalah competitiveness barang dan jasa kita menurun dibandingkan sebelum ada tarif 19 persen tersebut di AS,” jelas Eddy kepada kumparan, Kamis (7/8).
Eddy menjelaskan dalam jangka pendek, beban tarif kemungkinan besar masih akan ditanggung oleh eksportir Indonesia atau perusahaan AS yang mengimpor produk-produk dari Tanah Air.
Seiring waktu, beban tersebut akan beralih ke konsumen di AS. Akibatnya, kata Eddy, harga barang dan jasa asal Indonesia akan terasa semakin mahal bagi pasar AS, sehingga menurunkan daya tariknya di mata pembeli.
Meski begitu, Eddy menilai kondisi ini tidak serta-merta menutup peluang ekspor Indonesia di pasar AS karena banyak negara lain juga dikenai tarif tinggi.
“Kondisi sekarang unik karena negara-negara lain juga dikenai tarif. RRC bahkan 55 persen, India 50 persen, Jepang 15 persen. Oleh karena itu, sebenarnya Indonesia masih bisa bersaing di pasar AS jika perusahaan-perusahaan kita mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas barangnya di pasar ekspor," ungkap Eddy.
Eddy memandang pemerintah harus segera mengantisipasi dampak tarif dengan menggenjot konsumsi dalam negeri dan mendorong diversifikasi pasar ekspor.
Menurutnya, jika ekspor ke AS terhambat akibat kenaikan tarif, maka pemerintah dan pengusaha perlu menggenjot ekspor ke negara-negara lain. Untuk itu, kualitas dan kuantitas produk nasional harus terus ditingkatkan agar tetap kompetitif di pasar global.
"Investasi juga diperbaiki dengan menjadi negara yang creative center yang disukai bakat-bakat bagus untuk membangun teknologi," ujar Eddy.
Sementara itu, ekonom sekaligus Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menilai tarif 19 persen ini masih dalam batas yang bisa ditoleransi.
“Tarif Trump kan sudah diberlakukan 19 persen untuk 7 Agustus hari ini. Ini khusus untuk Indonesia, karena maksimum itu kalau saya ingat ada 41persen, untung saja kita masih 19 persen relatively fine,” kata Nafan kepada kumparan, Kamis (7/8).
Dari sisi pasar modal, Nafan menilai tekstil dan industri perkayuan bisa menjadi sektor yang terdampak, meski sejauh ini saham-sahamnya masih cenderung kurang likuid.
Meski dihadapkan pada hambatan tarif, Nafan tetap optimistis produk-produk Indonesia memiliki peluang untuk bertahan dan bersaing di pasar AS.