Oleh : Andri Rosadi, Ph.D.*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Israel berdiri pada tahun 1948, ada lebih dari 500 kota dan desa Palestina yang mereka rampas dan hancurkan. Selain itu, hampir satu juta penduduk terusir menjadi pengungsi di berbagai wilayah, termasuk di Yordania dan Lebanon hingga saat ini. Derita bangsa Palestina akibat konstruksi negara Israel tidak akan pernah mampu digambarkan oleh kata, dan belum ada bandingannya dalam sejarah.
Bagaimana memahami akar konflik Arab dan Yahudi di Palestina? Dan bagaimana pula cara penyelesaiannya? Disini, saya ingin mengutip pandangan kritis mendiang Edward Said, seorang intelektual Palestina yang bermukim di Amerika. Menurutnya, imperialisme dan kolonialisme adalah dua kata yang paling fungsional untuk menjelaskan akar konflik ini. Imperialisme adalah teori, sementara kolonialisme adalah praktik.
Imperialisme memberikan “theoretical framework” bagaimana kaum pribumi dipandang, dilihat dan kemudian diperlakukan. Lihatlah, dalam kasus Palestina ini, bagaimana pandangan-pandangan ‘filosofis’ itu diproduksi dan direproduksi dalam segala lini: akademik, sastra, politik dan media. Berikut beberapa sitasi yang diungkap oleh Said.
Conder, seorang penulis, membuat narasi tentang orang Arab dengan ungkapan berikut: ‘they are brutally ignorant, fanatical, and above all, inveterate liar’ (Mereka sangat bodoh, fanatik, dan terutama pembohong besar). Penulis lain, Kitchener, mengungkapkan dalam bahasa berbeda, namun dengan makna yang tidak kalah pejoratif: ‘ruthless destroyer, uneducated’ (perusak yang kejam, tidak berpendidikan).
Sejalan dengan itu, Drake juga mengatakan bahwa orang Arab, ‘the fellahin, are all in the worst type of humanity’ (para fellahin, semuanya adalah tipe kemanusiaan terburuk). Flinders Petrie menggunakan kata ‘savage’ (liar) untuk menyebut orang-orang Arab, sementara Stanley Cook menuduh ada ‘the inherent weakness of the characters of the inhabitants’ (kelemahan bawaan dalam karakter penduduk Arab); ada ‘rapid deterioration’ (kerusakan yang cepat) dan peradaban Arab tak lebih dari ‘deception’ (tipu muslihat). Di atas segalanya, Macalister menutup penilaiannya tentang orang Arab dengan kesimpulan absurd: ‘the most unprogressive country on the face of the earth’(negeri yang paling tidak progresif di muka bumi).
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, maka ‘the native’ dianggap tidak pernah exist, hanya ada pada level frase, bukan substantive. Orang Arab irrelevant. Palestina adalah ‘empty land’, sementara jutaan penduduk Arab yang telah menghuni tanah tersebut selama berabad-abad tak lebih dari kerumunan kosong tak bernilai. Dalam Bahasa Rabbi Meir Kahane: mereka hidup di tempat dan waktu yang salah. Jika begitu, kemana Arab Palestina itu harus pindah?
Kahane menjawab simple: ‘I don’t care’. Pandangan inilah yang kemudian menjadi legitimasi bagi kedatangan orang-orang ‘beradab’ yang akan memberikan nilai beda terhadap ‘uncivilized Arab’. Untuk konteks Palestina, para pendatang “beradab” itu adalah Yahudi Eropa dan Amerika, untuk mentransformasikan ‘tanah kosong’ itu, dari ‘the dark East’ menjadi ‘the bright West’.