REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejahatan siber di era kecerdasan buatan (AI) bukan lagi sekadar fiksi ilmiah. Serangan kini lebih cepat, lebih presisi, dan lebih sulit dideteksi. Fortinet Indonesia mengingatkan bahwa bisnis di Indonesia harus segera beradaptasi dan membekali diri menghadapi serangan berbasis AI yang semakin masif.
“Sekarang serangan tidak lagi pakai cara kasar. Dengan AI, pelaku bisa studi dulu tentang korban, lalu menyerang secara presisi. Ini jauh lebih berbahaya dibanding ancaman tradisional,” ungkap Edwin Lim, Country Director Fortinet Indonesia.
Menurut Edwin, AI telah mengubah lanskap serangan digital. Dari otomatisasi malware, phishing yang dinamis, hingga penggunaan deepfake untuk menipu individu agar memberikan akses atau data. “Kita pernah temukan kasus aplikasi game yang tampak normal, tapi ternyata menyisipkan malware. Cukup dibuka saja file-nya, langsung aktif,” ujarnya.
Risiko AI di Dunia Nyata
Edwin mengisahkan pengalaman nyata dari salah satu perusahaan di Indonesia. Domain digital perusahaan tersebut disalahgunakan oleh pihak tak bertanggung jawab untuk menyebarkan konten negatif. Dengan solusi AI milik Fortinet, insiden tersebut berhasil terdeteksi lebih awal dan segera ditangani.
Fortinet juga menggunakan AI untuk memantau dark web dan memberi peringatan jika ada identitas digital pelanggan yang diperjualbelikan. “Pernah kami temukan data pelanggan kami di deep web. Kami segera beri laporan lengkap agar mereka bisa mitigasi,” kata Edwin.
Dampak Bisnis Lebih Parah
AI memperparah dampak serangan karena kecepatannya. Edwin menegaskan, “Yang tadinya serangan butuh seminggu, sekarang bisa kurang dari 7 jam. Kalau tak pakai AI, kita kalah cepat.”
Dari perspektif bisnis, serangan AI bukan hanya mengancam sistem, tapi juga reputasi dan kepercayaan publik. Terlebih dengan hadirnya Undang-Undang PDP, organisasi wajib melaporkan kebocoran data secara cepat dan transparan.
“Budaya menyembunyikan insiden sudah tidak relevan. Transparansi dan deteksi dini adalah kunci,” ujarnya.
Meski membawa risiko, Edwin menegaskan AI bukan sesuatu yang harus ditakuti secara berlebihan. “AI bisa bantu banyak, dari otomatisasi keamanan sampai sertifikasi compliance. Tapi harus dikontrol, jangan sampai malah mengontrol kita,” katanya.
Untuk itu, Fortinet menyediakan pelatihan dan edukasi keamanan siber gratis agar pengguna memahami cara mengelola AI dengan aman. Termasuk penerapan arsitektur Zero Trust di mana setiap perangkat dan pengguna harus selalu diverifikasi.
“Sekarang bahkan untuk akses aplikasi internal di kantor, saya sendiri harus melewati tiga lapis verifikasi. Ini perlu demi melindungi sistem,” tutur Edwin.
Lebih dari teknologi, Fortinet menekankan pentingnya budaya keamanan yang melekat di tiap individu. “Bangun budaya waspada. Jangan asal klik link, apalagi yang mencurigakan. Itu hal kecil yang bisa menyelamatkan banyak,” ujar Edwin.
Melalui edukasi, teknologi, dan kolaborasi, Fortinet mendorong Indonesia untuk tidak hanya menjadi pengguna AI, tetapi juga pelindung yang tangguh di era digital. “AI akan terus berkembang. Yang bisa kita lakukan adalah mempercepat kemampuan deteksi dan mitigasi kita. Jangan sampai kita jadi korban karena terlambat merespons,” kata Edwin.