Home > Shipping Monday, 11 Aug 2025, 18:30 WIB
Jika berhasil, strategi ini bisa menjadi preseden baru dalam menggunakan instrumen ekonomi untuk perdamaian.

ShippingCargo.co.id, Jakarta — Presiden AS Donald Trump kembali mengangkat tarif impor sebagai senjata politik luar negeri—kali ini dengan target yang jauh melampaui isu perdagangan. Menjelang tenggat Jumat bagi Rusia untuk menyetujui perdamaian di Ukraina, Gedung Putih menyiapkan langkah berisiko: memberlakukan tarif sekunder bagi negara yang membeli minyak Rusia.
Langkah ini sudah dimulai pada Rabu dengan tambahan tarif 25% terhadap barang-barang dari India—dampak langsung dari keputusan New Delhi tetap mengimpor minyak Rusia. Tiongkok, sebagai pembeli terbesar minyak Rusia, belum tersentuh, namun pejabat Gedung Putih memastikan bahwa opsi tersebut ada di atas meja, per Reuters, seperti dilansir oleh gCaptain.
Bagi Donald Trump, tarif tak hanya menjadi alat ekonomi, melainkan juga instrumen politik luar negeri. Kini, ia menggunakan strategi ini untuk menekan Rusia, namun dengan taruhan yang lebih besar. Rencananya adalah memukul negara-negara pembeli minyak Rusia, seperti India dan Tiongkok, demi memotong aliran dana ke Kremlin.
Namun, langkah ini bagai pedang bermata dua. Sejak 2022, Barat sudah membatasi harga minyak Rusia agar pendapatan perang Putin terkikis. Strategi ini berhasil mengalihkan pasokan minyak Rusia ke Asia dengan harga diskon, menjaga pasar global tetap stabil.
Pemberlakuan tarif sekunder oleh Trump bisa mengganggu keseimbangan ini. Jika India, misalnya, menghentikan pembelian 1,7 juta barel per hari, harga minyak global bisa melonjak dari $66 menjadi $80 per barel atau lebih. Kenaikan ini berpotensi memicu inflasi global, yang tidak disukai oleh pemilih AS. JP Morgan bahkan menyebut sulit untuk menghukum minyak Rusia tanpa memicu lonjakan harga.
Di sisi lain, India dan Tiongkok juga memiliki daya tawar yang kuat. India adalah pemasok utama obat generik dan bahan kimia ke AS, sementara Tiongkok memiliki kendali atas mineral strategis. Kedua negara ini berpendapat bahwa pembelian minyak mereka sah karena mematuhi batas harga yang ditetapkan G7.
Tarif sekunder ini menjadi ujian besar bagi diplomasi Trump. Jika berhasil, strategi ini bisa menjadi preseden baru dalam menggunakan instrumen ekonomi untuk perdamaian. Namun, jika gagal, risikonya adalah harga minyak melambung, inflasi, dan hubungan dagang yang memburuk. Sebuah bumerang geopolitik yang sulit dikendalikan.