REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fajar Syuderajat, Dosen Televisi dan Film, Fikom, Unpad.
"Aku mau hidup seribu tahun lagi."
(Chairil Anwar dalam “Aku/Semangat, Deru Campur Debu.”)
Puisi Chairil Anwar itu, terngiang kembali setiap bangsa ini berhadapan dengan paradoks: di satu sisi api patriotisme menyala, di sisi lain bara padam dipukul realitas industri yang kerap dingin, eksklusif dan tidak ramah terhadap idealisme. Film animasi “Merah Putih: One for All” adalah sebuah episode yang memperlihatkan wajah ganda itu dengan telanjang—sebuah niat luhur untuk menghadirkan film patriotik di perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, namun berakhir dalam pusaran kontroversi, hujatan, cibiran dan gelak tawa yang menyudutkan.
Jagat maya Indonesia pada awal Agustus mendidih. Trailer “Merah Putih: One for All” beredar di platform digital, memicu ejekan, sekaligus debat sengit. Publik mempermasalahkan kualitas animasi yang dianggap di bawah standar layar lebar. Biaya produksi disebut-sebut menelan lebih dari Rp6 miliar -- sebuah angka fantastis bila dibandingkan dengan hasil visual yang dipandang jauh dari memadai.
Sutradara sekaligus produsernya, Endiarto, bersikeras bahwa itu baru cuplikan; versi penuh di bioskop akan berbeda. Bahkan ia membantah kabar biaya produksi enam miliar tersebut, sembari mengungkapkan kenyataan pahit: para kru hanya dibayar dengan nasi goreng dan air mineral.
Kenyataan itu bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, kita tertawa getir mendengar klaim yang seolah parodi dari dunia perfilman profesional. Namun di sisi lain, ada denyut keikhlasan yang mesti diakui: keberanian untuk berkarya dalam keterbatasan dana, waktu, dan tenaga—digerakkan oleh semangat merah putih, bukan oleh kalkulasi laba.
Sebuah Idealisme yang Ditertawakan
"Sekali berarti, sudah itu mati."
(Chairil Anwar dalam “Dipo Negoro, Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus.”)
Bagi banyak orang, “Merah Putih: One for All” hanyalah tontonan gagal, sebuah bahan lelucon viral. Tetapi bila kita lepaskan kacamata sinis, justru yang tampak adalah semangat: idealisme tanpa pamrih, kerja yang lahir dari dada yang penuh cinta tanah air. Film ini diniatkan sebagai persembahan untuk HUT ke-80 Republik Indonesia, sebuah simbol kecil bahwa patriotisme dapat hidup di medium apapun, termasuk animasi.
Sayangnya, idealisme yang lahir dari ketulusan itu terhantam oleh benteng eksklusivitas industri film Indonesia. Dunia perfilman kita masih berdiri di menara gading: produksi harus megah, kualitas harus sinematik, distribusi harus komersial dan sponsor harus hadir. Mereka yang mencoba menempuh jalan berbeda—dengan dana minim, tenaga terbatas, tapi semangat menyala—seringkali dicemooh bahkan sebelum karyanya benar-benar dicicipi.
Apakah kita lupa bahwa sejarah perfilman Indonesia juga lahir dari keberanian serupa? Bahwa film pertama negeri ini, Loetoeng Kasaroeng (1926), dibuat oleh tangan-tangan amatir yang nekat mencoba kamera? Bahwa generasi Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik memulai sinema nasional dengan peralatan seadanya, tapi dengan hati sebesar samudera.
“Merah Putih: One for All” memang jauh dari sempurna, tapi bukan itu soalnya. Soalnya adalah: mengapa kita selalu menertawakan idealisme yang miskin modal, alih-alih merangkul dan membimbingnya?