Direktur Pengembangan Usaha PT Timah, Suhendra Yusuf Ratuprawiranegara, mengatakan luasnya Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) perusahaan tidak sebanding dengan realisasi produksi bijih timah.
Suhendra mengatakan, perusahaan menguasai 80 persen WIUP timah di Indonesia, sementara 20 persen WIUP dikempit oleh pihak swasta. Namun, realisasi produksinya berbanding terbalik.
PT Timah tercatat menguasai sebanyak 127 IUP timah dengan luas wilayah mencapai 288.716 hektare di darat dan 184.672 hektare di laut, dan tersebar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung hingga Provinsi Kepulauan Riau.
"Bahasa sederhananya ini pareto yang negatif. Kami yang memiliki luasan wilayah IUP yang cukup luas 80 persen, tapi kok volume produksi kami hanya 20 persen, dibandingkan dari pihak swasta yang ada," ungkapnya saat berbincang bersama media di Pangkalpinang, Provinsi Bangka, dikutip Senin (25/8).
Seretnya pasokan bijih timah berdampak pada operasional smelter yang belum optimal. Smelter Top Submerge Lance (TSL) Ausmelt Furnace yang perusahaan miliki berkapasitas hingga 40.000 ton crude tin per tahun atau 35.000 metrik ton ingot per tahun, namun baru beroperasi 30 persen dari total kapasitas.
Suhendra mengatakan, PT Timah sudah menyiapkan sederet strategi. Secara jangka panjang, perusahaan ditargetkan menjadi pemimpin dalam pertambangan timah. Namun, dia menilai peta jalan ini harus didukung penuh oleh seluruh pemangku kepentingan.
"Untuk hal ini kita coba tata kelolanya secara parsial dulu, karena sangat pelik persoalannya. Yang kita harapkan adalah dukungan serta support dari regulator, stakeholder, baik di daerah maupun secara nasional," tegasnya.
Secara jangka pendek, lanjut Suhendra, PT Timah berencana menata kembali kemitraan dengan unsur masyarakat. Perusahaan memang sudah menyediakan opsi kemitraan pertambangan timah aluvial dan mineral ikutan secara legal dengan masyarakat.
Hanya saja, dia menyebutkan persyaratan mitra ini masih longgar sebab tidak ada target produksi yang mengikat, maupun sanksi jika mitra tersebut tidak mencapai target. Untuk itu, perusahaan akan menerapkan skema reward and punishment.
"Kita bisa sesuaikan klausul-klausul perjanjian kita dengan mitra. Hal ini yang saya lihat masih sedikit longgar, nah kita mau memperketat di situ dengan suatu persyaratan bahwa ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh mitra dan itu menjadi hak bagi PT Timah," jelas Suhendra.
Suhendra mencontohkan, selama ini tidak ada kewajiban produksi dalam bentuk target volume dalam jangka waktu tertentu terhadap pihak mitra. Padahal, perusahaan mengetahui seberapa besar cadangan yang terkandung di wilayahnya.
"Harus target, kita kan tahu itu cadangan yang ada di situ. Kita mau secara short term menata dari sisi hak-hak kewajiban dalam persyaratan perjanjian kita dengan pihak mitra," lanjutnya.