TEMPO.CO, Jakarta - Ramai pemberian abolisi terhadap Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto oleh Presiden RI Prabowo Subianto. Beberapa tahun yang lalu, Presiden Ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie atau BJ Habibie juga pernah memberikan abolisi dan amnesti lewat Keppres Nomor 123/1998.
BJ Habibie baru terjun ke ranah politik ketika diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi pada 1978. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya 1998, gejolak politik dan seruan reformasi memuncak hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri, dan Habibie pun dipilih menjadi penggantinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masa kepemimpinan Habibie ditandai oleh berbagai tantangan, mulai dari tuntutan reformasi hingga dampak krisis ekonomi Asia. Namun meski singkat, ia berhasil meluncurkan sejumlah perubahan penting dan membuka lebih banyak ruang bagi kebebasan berpendapat.
Dinukil dari skripsi mahasiswa Universitas Jember Riska Maulida Sani yang terbit pada 2023 dengan judul Kebijakan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie dalam Menegakkan Demokrasi di Indonesia Tahun 1998-1999, pada masa pemerintahan Habibie, tahanan dan narapidana politik dari era Orde Baru mulai dibebaskan.
“Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan Habibie terhadap penahanan politik, yang diakibatkan perbedaan pandangan dengan pemerintah saat itu. Tujuan dari langkah ini adalah untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,” tulis Riska dalam skripsinya.
Melalui sidang kabinet, diputuskan bahwa seluruh tahanan dan narapidana politik yang terkait dengan Undang-Undang Subversi tahun 1963 akan dibebaskan. Pembebasan tersebut dilakukan dengan pemberian amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi melalui Keputusan Presiden.
Keputusan Presiden terkait pemberian amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi pertama kali dikeluarkan oleh pemerintahan melalui Keputusan Presiden No. 80 Tahun 1998. Keputusan ini memberikan amnesti dan abolisi kepada Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas pada 25 Mei 1998.
Muchtar Pakpahan yang menjabat sebagai ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), dan Sri Bintang Pamungkas sebagi ketua Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI), dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta.
Muchtar sebelumnya dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun atas tuduhan menghasut dalam peristiwa kerusuhan di Medan pada 1994, serta dikenai dakwaan subversi dan menyebarkan kebencian terhadap pemerintah terkait kerusuhan yang terjadi pada Juli 1996 di Jakarta.
Sementara itu, Sri Bintang diadili karena tuduhan subversi setelah mendirikan PUDI dan membuat kartu lebaran berisi penolakan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden untuk masa jabatan ketujuh. Ia juga dihukum 2 tahun 10 bulan atas tuduhan menghina Presiden Soeharto melalui pidatonya di Jerman pada 1995.
Pemberian amnesti dan abolisi ini menghapuskan seluruh konsekuensi hukum pidana dan tindakan penuntutan terhadap keduanya. Keputusan untuk membebaskan Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas disetujui secara aklamasi dalam sidang kabinet reformasi Presiden BJ Habibie. Keduanya dipandang sebagai tahanan politik yang memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya kebebasan berpendapat.
BJ Habibie kemudian menerbitkan Keputusan Presiden No. 85 Tahun 1998 yang memberikan amnesti kepada delapan orang terpidana dan abolisi kepada delapan tersangka pada 9 Juni 1998. Terpidana yang diberikan amnesti terdiri atas Cancio Anton PH.G, Bendito P. Amaral, Thomas P. Agusto P. Coreia, dan Hermenegildo Dacosta, yang masing-masing dijatuhi hukuman satu tahun penjara karena terlibat dalam demonstrasi di Hotel Mahkota, Dili, pada 23 Maret 1997.
Selain itu, Coky Yahya Runasia Tanel Guntur Aritonang juga termasuk penerima amnesti setelah sebelumnya dijatuhi hukuman dua tahun enam bulan pada Juli 1995 karena dituduh menghina Presiden Soeharto melalui penyebaran pamflet ilegal di sejumlah universitas.
Jose Gomes yang menjalani hukuman empat tahun enam bulan, Luis Pereira Jose Gomes dengan hukuman dua tahun tiga bulan, dan Antonio Gusmao Freitas yang dipenjara selama satu tahun tujuh bulan, juga termasuk dalam daftar terpidana yang diberi amnesti. Ketiganya ditangkap karena keterlibatan dalam kerusuhan di Baucau pada 10 dan 11 Juni 1996.
Sementara itu, delapan tersangka yang mendapat abolisi adalah Juvinal P. Dos Santos P. Monis, Fransisco de Deus, Domingos Da Silva, Silverio Babtista Ximenes, Vicente Marques Da Crus, Bernadino Simao, Paulo E. Silva P. Carvalho, dan Paulo Soares. Mereka ditangkap dan diproses hukum karena keterlibatan dalam kerusuhan yang terjadi di Universitas Timor Timur (Untim), Dili, pada 14 November 1997.
Presiden kelahiran Pare-Pare Sulawesi Selatan itu kembali mengeluarkan Keputusan Presiden No. 123 Tahun 1998 yang memberikan amnesti kepada 18 narapidana politik dan abolisi kepada 7 orang lainnya pada 15 Agustus 1998. Mereka sebelumnya ditangkap karena menyebarkan selebaran yang menghina Presiden Soeharto pada peringatan Tragedi Dili 1991, tepatnya 12 November 1997.