Senyum Karier Para Pangeran Setelah Diponegoro Ditangkap

Lukisan Raden Saleh mengenai penangkapan Pangeran Diponegoro. Para pangeran Yogyakarta dna SUrakarta pun bisa mengembangkan senyum karier setelah mendengar kabar gembira DIponegoro ditangkap. Sumber:istimewa

Dengan tipu muslihat, Belanda menangkap Diponegoro pada 28 Maret 1830 di Magelang. Belanda tentu senang atas keberhasilan Jenderal De Kock ini, karena bisa menyudahi Perang Jawa.

Residen Yogyakarta JFW van Nes menyampaikan kabar gembira itu saat makan pagi dengan Sri Sultan Hamengkubuwono V dan kerabat keraton pada 29 Maret 1830. Inilah saat para pangeran melakukan hal --yang saat ini dikenal sebagai senyum karier-- agar tidak dibenci Belanda.

Pangeran Pamot dan Pangeran Selangor adalah dua pangeran yang tidak peduli dengan senyum karier. “Yang tampak kurang senang, menurut Residen, harus diawasi dengan ketat,” tulis Vincent JH Houben di buku Keraton dan Kompeni yang diterbitkan Bentang pada 2002.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Tentu saja, keberhasilan menangkap Diponegoro adalah kabar yang menggembirakan bagi Belanda. Belanda tak perlu lagi keluar anggaran untuk perang.

Artinya, tak perlu lagi membiayai para prajurit keraton yang membantu Belanda memerangi Diponegoro. Selama lima tahun Perang Jawa atau Perang Diponegoro, Belanda telah menghabiskan 20 juta gulden.

Untuk mendapatkan dukungan dari para pangeran di Yogyakarta dan Surakarta, Belanda juga perlu mengeluarkan biaya. Untuk mengambil hati Raja Surakarta Paku Buwono VI dan para pangeran, Belanda menyewa tanah keraton di Desa Blitar dan sekitarnya dengan harga bersaing.

Nahuys van Burgts, residen Surakarta, menyewa tanah di Desa Blitar seluas 500 cacah dengan harga 2.500 real Spanyol. Setelah itu, Paku Buwono VI yang semula ragu menyerahkan dukungannya, akhirnya memilih mendukung mendukung Belanda memerangi Diponegoro.

Bahkan, salah satu anak Diponegoro, yaitu Dipokusumo, sebelum Diponegoro ditangkap telah meminta Belanda agar kedudukannya dipulihkan. Artinya, ia berpaling dari bapaknya, dan mengabdi kepada Sultan Hamengkubuwono V dan Belanda.

“Pada permulaan Februari dia mengangkat sumpah setia kepada pemerintah, dan dua bulan kemudian dia tiba di Yogyakarta bersama Pangeran Diponingrat dan tiga orang putri. Semuanya menghaturkan hormat dengan cara mencium kaki Sultan dan ratu (ibu dari dua penguasa sebelumnya),” tulis Houben.

Ibu Diponegoro tentu bersedih hati melihat sikap cucunya itu. Lalu, Dipokusumo menjadi pangeran yang ikut gembira, mengembangkan senyum karier, ketika Van Nes mengumumkan penangkapan Diponegoro.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini

[email protected]