
PERJALANAN politik digital Indonesia tak lepas dari lahirnya kosakata unik yang mewarnai percakapan publik. Salah satunya adalah kecebong, sebuah istilah yang berawal dari candaan, lalu berkembang jadi simbol polarisasi. Di balik popularitas istilah ini, terdapat nama Yulianus Paonganan atau lebih dikenal sebagai Ongen.
Cerita ini bermula pada 2012, saat Joko Widodo masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, publik mengetahui kebiasaannya memelihara kodok di rumah dinas. Kisah sederhana ini, yang seharusnya tidak lebih dari anekdot ringan, kelak menjadi inspirasi lahirnya sebutan kecebong. Memasuki 2014, di tengah panasnya kontestasi Pilpres, Ongen mulai menggunakan istilah itu di media sosial. Kala itu ia lontarkan melalui aplikasi Twitter untuk menyindir para pendukung Jokowi yang dianggap membela sang pemimpin tanpa kritik.
Istilah ini cepat menyebar, memicu perdebatan sengit, dan akhirnya jadi bagian dari bahasa perang politik dunia maya, berpasangan dengan sebutan kampret yang diarahkan untuk pendukung Prabowo Subianto.Namun, perjalanan Ongen tak selalu mulus. Pada 2015, ia terjerat kasus hukum akibat unggahan yang dianggap menghina Jokowi, yang membawanya menghadapi proses hukum panjang.
Meski demikian, istilah kecebong makin populer, terutama saat Pilpres 2019, yakni media sosial dipenuhi adu sindir antara kedua kubu.
Babak baru dimulai pada 1 Agustus 2025, saat Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Ongen sebagai bagian dari perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI. Momen ini menjadi titik balik yang tak terduga. Alih-alih melontarkan kritik tajam, Ongen memilih menyampaikan pesan damai. “Saya doakan Pak Jokowi selalu sehat, diberkati Tuhan, dan tetap bisa menginspirasi banyak orang,” ujar Ongen, di Jakarta, Sabtu (9/8).
Menurut dia, perbedaan politik itu merupakan hal wajar, tetapi jangan sampai memutuskan tali persaudaraan. “Setelah ini, saya ingin lebih banyak berbicara mengenai persatuan dan masa depan bangsa, bukan sekadar perdebatan di media sosial,” tambahnya.
Ia menegaskan di tengah dinamika demokrasi Indonesia saat ini, langkah yang ia lakukan dapat menjadi pengingat bahwa kritik, dukungan, dan perbedaan pandangan seharusnya tetap berpijak pada satu tujuan yakni menjaga persatuan bangsa. (H-2)