
Warga kaget menemukan LinkedIn berisi datanya. Lengkap dengan fotonya, padahal bukan miliknya. Warga tersebut kemudian melapor ke polisi.
Berawal dari situ, terungkap adanya sindikat penyalahgunaan data pribadi yang digunakan untuk membuat akun LinkedIn palsu hingga mendaftarkan SIM card secara ilegal. Para pelaku mencari data kependudukan di internet kemudian mendaftarkannya ke kartu SIM. Kartu itu digunakan untuk penipuan.
Kasubdit 3 Siber Polda Metro Jaya AKBP Rafles Langgak Putra Marpaung menemukan kejanggalan pada nomor telepon yang tertera. Nomor itu tidak sesuai dengan identitas yang tercantum dalam profil.
Setelah ditelusuri, nomor tersebut ternyata terdaftar menggunakan NIK orang lain.
“Jadi kami mendapatkan adanya tiga orang yang data pribadinya digunakan yaitu berasal dari Banyumas, Kendal, dan Bogor,” ungkap Rafles, Jumat (25/7).
Korban Tak Pernah Beri Izin
Setidaknya ada tiga korban dalam kasus ini. Mereka menyatakan tidak pernah memberikan izin kepada siapa pun untuk menggunakan data mereka. Dari situ polisi menyimpulkan telah terjadi pelanggaran penggunaan data pribadi tanpa izin.
Pelaku pertama yang ditangkap berinisial IER. Ia membeli SIM card yang sudah teregistrasi menggunakan data milik tiga korban untuk melakukan penipuan.
“Motif dia membeli SIM card teregistrasi adalah untuk digunakan melakukan penipuan terhadap masyarakat,” kata Rafles.
Data Pribadi Disebar Oleh Sales SIM Card
Dari penelusuran, polisi lalu menangkap penjual SIM card tersebut berinisial KK, seorang pemilik konter HP di salah satu pusat perbelanjaan. Dari tangan KK disita 130 kartu perdana XL dan 24 Axis yang semuanya telah teregistrasi.
Namun, KK juga bukan orang yang mendaftarkan kartu tersebut. Ia mendapatkan kartu dari F, seorang sales kartu GSM yang bekerja untuk PT M — distributor resmi dari operator seluler XL Smart.
“F juga mendapatkan kartu-kartu SIM card yang sudah teregister dari saudara FRR,” ujarnya
“Saudara FRR ini perannya juga sebagai sesama sales dari PT M,” tambahnya Rafles.

FRR meregistrasi kartu-kartu tersebut menggunakan data pribadi yang dia temukan lewat pencarian Google agar mudah dijual.
“Menurut keterangannya, masyarakat akan lebih senang membeli kartu-kartu perdana yang sudah teregister jadi tidak perlu repot mengisi dengan NIK dan KK miliknya,” kata Rafles.
Ada empat tersangka yang dijerat dalam kasus ini. Mereka dikenakan Pasal 51 ayat 1 UU ITE tentang manipulasi data, serta Pasal 67 ayat 3 dan Pasal 65 ayat 3 UU Perlindungan Data Pribadi Nomor 27 Tahun 2022. Ancaman hukumannya maksimal 12 tahun penjara dan denda hingga Rp 12 miliar.
Pencegahan
Direktur Penyidikan Digital Komdigi, Irawati Cipto Priyanti, memberikan sejumlah tips mencegah penipuan dengan data pribadi. Pertama, masyarakat disarankan segera memblokir nomor lama yang sudah tidak digunakan untuk mencegah disalahgunakan pihak lain.
Kedua, jangan pernah mengunggah atau membagikan foto dokumen pribadi seperti KTP, KK, atau SIM ke media sosial atau platform digital terbuka.
Ketiga, masyarakat diminta aktif mengecek penggunaan NIK-nya untuk registrasi kartu. Saat ini, mekanisme pembatasan satu NIK untuk maksimal tiga SIM card sudah ada, tapi masih perlu disempurnakan.
Ia juga mendorong operator dan penyelenggara sistem elektronik untuk membangun sistem perlindungan yang lebih kuat demi mencegah kebocoran data lebih lanjut.
“Kan bisa pakai AI, mungkin bisa lebih mudah dan lebih efisien bagaimana mengontrol bahwa itu satu NIK benar-benar hanya digunakan oleh tiga nomor ini yang akan kita diskusikan mudah-mudahan kawan operator juga bekerja sama,” kata Irawati dalam kesempatan yang sama.
Dengan maraknya kejahatan digital, masyarakat diminta tidak hanya waspada, tapi juga proaktif menjaga data pribadinya. Jangan sampai identitas kita dipakai untuk menipu orang lain—dan kita yang menanggung akibatnya.