Nama Ratu Sinuhun mungkin belum setenar Cut Nyak Dien atau Kartini, namun jejaknya di abad ke-17 layak dikenang sebagai salah satu perempuan paling visioner dalam sejarah Nusantara.
Ia lahir di Palembang pada akhir abad ke-16 dari keluarga bangsawan dan ulama. Ibunya, Nyi Gede Pembayun, adalah cucu dari Ki Gede Ing Suro—penyebar Islam pertama di Palembang dan keturunan Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak. Ayahnya, Maulana Fadlallah alias Tumenggung Manconegara Caribon, adalah keturunan bangsawan dari Sumedang dan Cirebon.
Dengan latar itu, darah Ratu Sinuhun mengalirkan warisan dari enam pusat peradaban besar: Majapahit lewat Ario Damar), Surabaya – Sunan Ampel (guru Raden Fatah), Demak, Pajang, Mataram Islam, dan Cirebon. Inilah yang membuat dan mempengaruhinya pandangannya dalam menyusun Undang-Undang Simbur Cahaya yang begitu visioner, memadukan adat, pola pengelolaan wilayah dan syariat.
Pemimpin Perempuan di Tengah Pusat Kekuasaan
Ratu Sinuhun menikah dengan Pangeran Sido Ing Kenayan, penguasa Palembang tahun 1639–1650 M. Namun ia bukan sekadar permaisuri pasif di istana.
Ia dikenal cerdas, berwibawa, dan dekat dengan para ulama. Dalam sistem Kesultanan Palembang yang menjadikan keraton sebagai pusat syariat dan pendidikan, Ratu Sinuhun tampil sebagai figur penting dalam politik, sosial, dan spiritual.
Karya Hebat: Undang-Undang Simbur Cahaya
Puncak kontribusinya adalah ketika ia menyusun Undang-Undang Simbur Cahaya—salah satu hukum tertulis tertua di Sumatera Selatan. Undang-undang ini adalah kodifikasi unik antara syariat Islam, adat masyarakat Palembang, dan nilai-nilai keadilan sosial.
Beberapa isinya mengatur:
Lebih dari sekadar hukum, Simbur Cahaya menjadi cermin pemikiran progresif Ratu Sinuhun tentang kesetaraan gender. Bahkan dalam pasal-pasalnya, ada aturan perlindungan terhadap gadis remaja di ruang publik—sebuah bentuk kesadaran hukum terhadap kehormatan perempuan yang sangat maju untuk zamannya.
Kitab ini diterapkan selama ratusan tahun, bahkan tetap dirujuk pada masa penjajahan Belanda dan awal kemerdekaan Indonesia.
Ratu Sinuhun wafat sekitar tahun 1642–1643 M dan dimakamkan di kompleks pemakaman Sabokingking, Palembang, bersama suaminya dan guru spiritual mereka, Habib Muhammad Imam Alfasah.
Meskipun jasadnya telah berkalang tanah, pemikiran dan warisan hukumnya terus hidup. Di banyak komunitas adat di Palembang, Bengkulu, hingga pesisir timur Sumatera, nama Ratu Sinuhun masih disebut penuh hormat sebagai perempuan penjaga hukum dan nilai syariat.
Menuju Gelar Pahlawan Nasional
Kini, dukungan agar Ratu Sinuhun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia terus menguat. Akademisi, sejarawan, aktivis perempuan, hingga tokoh adat di Sumatera Selatan telah membentuk koalisi untuk mengawal proses pengajuan resmi ke pemerintah pusat.
Alasannya sederhana dan kuat: Ratu Sinuhun adalah simbol kepemimpinan perempuan yang berpikir jauh ke depan, menjunjung tinggi nilai Islam, adat, dan keadilan sosial.