
Komisi VI DPR RI meminta para pelaku industri serta asosiasi yang bergerak di sektor farmasi dan makanan-minuman (mamin) untuk perketat pengawasan serta tidak terlalu bergantung pada produk impor.
Anggota Komisi VI Rachmat Gobel mengatakan derasnya arus masuk barang dari luar negeri khususnya obat-obatan dan makanan, berpotensi melemahkan industri nasional dan menimbulkan kerancuan tanggung jawab atas produk yang beredar.
“Maraknya impor, obat-obatan itu banyak yang masuk. Siapa yang bertanggung jawab untuk produk impor itu sendiri? Kalau otomotif jelas ada pabriknya, ada agennya. Kalau obat siapa? Kalau makanan siapa yang urus? Ini juga harus dipikirkan gitu,” ucap Rachmat dalam Rapat Panja Komisi VI DPR RI bersama Pelaku Konsumen di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (10/7).

Ia menilai, perlu ada penegasan tanggung jawab terhadap produk-produk luar yang masuk ke Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan mewajibkan pencantuman informasi dalam Bahasa Indonesia, terutama pada label makanan.
“Saya kira itu salah satu cara kita untuk mengurangi impor dari luar. Kecuali obat-obatan yang memang nggak bisa pakai Bahasa Indonesia, mungkin itu bisa dikhususkan ya,” tambah Rachmat.
Rachmat juga menegaskan pentingnya perlindungan terhadap industri dalam negeri melalui kebijakan yang berpihak pada penguatan pasar lokal. Ia menyebutkan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen bisa dijadikan instrumen untuk memperkuat posisi industri nasional.
Dia menekankan pentingnya investasi dalam negeri di kedua sektor tersebut harus terus didorong. Oleh sebab itu, asosiasi diminta serius mengidentifikasi hambatan-hambatan yang mengganggu pertumbuhan sektor masing-masing. “Asosiasi, tolong pikirkan baik-baik apa yang mengganggu industri bapak ibu semua,” tegasnya.
Menurutnya, pasar dalam negeri kini mengalami gangguan akibat banyaknya produk impor. Ia pun menyoroti kurangnya kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab jika terjadi masalah dengan produk tersebut.