REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menegaskan, platform pinjaman daring (Pindar) tidak pernah melakukan kesepakatan harga pada 2018 sebagaimana dugaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). AFPI juga menyebut Surat Keputusan Code of Conduct yang dijadikan bukti KPPU sudah dicabut sejak 8 November 2023 bersamaan dengan berlakunya SEOJK 19/2023.
“Kami tegaskan, tidak pernah ada kesepakatan batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) 2018–2023. Setelah SEOJK 19/2023 berlaku, Code of Conduct kami cabut. Batas bunga saat itu merupakan arahan OJK untuk melindungi konsumen dari pinjol ilegal dengan bunga tinggi. Hal ini sudah kami sampaikan ke KPPU,” ujar Ketua Bidang Humas AFPI, Kuseryansyah, dalam sesi berbagi bersama media di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Data OJK yang dikutip CELIOS menunjukkan, pinjol ilegal mencapai 3.240 entitas sepanjang 2024, atau 30 kali lebih banyak dibandingkan Pindar resmi yang hanya 97. “Masifnya pinjol ilegal menuntut pelaku berizin melindungi konsumen, salah satunya lewat pembatasan bunga,” kata Kuseryansyah.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI, Ditha Wiradiputra, menilai tuduhan kartel KPPU tidak tepat. Ia menegaskan, tidak ada indikasi kesepakatan harga sebagaimana pasal kartel dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.
“Tujuan penetapan harga biasanya untuk memperbesar keuntungan. Dalam industri Pindar, bunga justru diturunkan. Apakah ada keuntungan lebih besar yang diperoleh?” ujarnya.
Ditha menjelaskan, Pasal 5 tentang price fixing berbeda dengan Pasal 11 mengenai kartel. “Pasal yang dikenakan adalah Pasal 5, bukan Pasal 11. Jadi tidak tepat bila langsung disebut kartel,” katanya.
Ia mengingatkan, proses hukum di KPPU dapat memengaruhi investor. “Persidangan masih berjalan. Jangan sampai dianggap sudah final. Jika dibesar-besarkan, bisa memengaruhi kepercayaan investor,” ucapnya.
Ditha menuturkan, ia pernah mendengar cerita Direktur Utama perusahaan pelabuhan yang investasinya miliaran rupiah tertunda akibat perusahaannya berperkara di KPPU. “Investor asing menganggap perkara KPPU serius. Mereka menunggu putusan sebelum menanamkan modal,” ungkapnya.
Menurutnya, hal serupa bisa terjadi di industri fintech bila kasus ini tidak dikelola hati-hati. “Ini yang harus diwaspadai agar isu persidangan tidak dianggap final,” kata Ditha.
Ia menjelaskan, kasus bermula dari Pedoman Perilaku AFPI 2019 yang membatasi bunga maksimal 0,8 persen per hari untuk mencegah pinjol ilegal dengan bunga 2–3 persen. Namun KPPU menilai aturan itu sebagai bentuk penetapan harga. Perdebatan pun muncul karena price fixing lazim dimaknai sebagai kesepakatan tertutup, bukan aturan asosiasi terbuka.
“Persidangan masih berjalan. Komisioner KPPU belum memutuskan,” pungkas Ditha.
KPPU membuka sidang dugaan pelanggaran Pasal 5 UU No. 5/1999 pada 14 Agustus 2025 dengan melibatkan 97 perusahaan fintech anggota AFPI sebagai terlapor. Jumlah ini terbanyak sepanjang sejarah KPPU. Seluruh komisioner duduk sebagai majelis. Sidang berlanjut pada 26 Agustus 2025 dengan agenda pembacaan laporan dugaan pelanggaran bagi empat terlapor yang absen serta pemeriksaan alat bukti.