Bayangkan seorang pemuda Spanyol yang tumbuh di tengah bayang-bayang sejarah yang rumit, di mana sains sering dijadikan alat kekuasaan. Lino Camprubí, lahir di Spanyol pada akhir abad ke-20, awalnya terpesona oleh cerita para insinyur dan ilmuwan yang membangun rezim Franco—bukan sebagai pemuja, tapi sebagai pengamat kritis.
Sebagai seorang sejarawan sains, ia memulai perjalanannya di Universitas Sevilla, kemudian melanjutkan studi doktoral di Harvard, di mana matanya terbuka pada bagaimana sains bukanlah cahaya murni, melainkan sering terperangkap dalam jaring ideologi. Kisahnya menyentuh hati: Dari seorang pemuda yang skeptis terhadap narasi resmi, ia berubah menjadi pemikir yang menantang fondasi materialisme ilmiah, mengungkap bagaimana "penjara" ini membatasi pandangan kita terhadap realitas.
Capaiannya menakjubkan: Penulis buku seperti Engineers and the Making of the Francoist Regime (2014), yang memenangkan penghargaan dari Society for the History of Technology, dan editor buku Contemporary Materialism: Its Ontology and Epistemology (2022). Ia kini bekerja di Max Planck Institute for the History of Science di Berlin, di mana pencerahannya mencapai puncak—menyadari bahwa materialisme bukan sekadar metode sains, tapi rantai yang menghalangi kita melihat keindahan ontologi yang lebih luas. Perjalanannya adalah cerita tentang keberanian intelektual, di mana seorang sejarawan menemukan bahwa sains sejati adalah pembebasan, bukan pembatasan.
Dalam artikelnya yang mendalam, "Materialism and the History of Science" (2021) yang diterbitkan di jurnal Synthese (dengan sekitar 50 kutipan), Camprubí merangkum argumen kuat yang mengkritik bagaimana materialisme membatasi pemahaman sains. Ia memulai dengan menelusuri sejarah konsep "matter" dan "materialism" dalam sains, menunjukkan bahwa pandangan ini sering mengasumsikan segala realitas sebagai entitas material yang dapat direduksi menjadi bagian-bagian fisik.
Argumen utamanya: Materialisme reduksionis ini menciptakan "penjara" epistemologis, di mana sains gagal menjelaskan fenomena emergent seperti kesadaran dalam biologi atau kompleksitas kuantum dalam fisika. Misalnya, dalam fisika, Camprubí mengkritik bagaimana materialisme mengabaikan aspek ontologis non-materi, seperti interpretasi filosofis dari mekanika kuantum yang melibatkan pengamat—bukan sekadar partikel.
Di biologi, ia memberikan contoh evolusi, di mana materialisme melihat kehidupan sebagai proses mekanis semata, tapi mengabaikan dimensi teleologis atau tujuan yang tak terukur secara material. Hasil utamanya: Dengan menelusuri sejarah dari abad ke-19 hingga kini, Camprubí menyimpulkan bahwa materialisme bukanlah "kemajuan" sains, melainkan bias historis yang membatasi inovasi, mendorong kita untuk mengadopsi ontologi yang lebih inklusif untuk pemahaman holistik.
Gagasan Camprubí ini semakin kuat ketika kita hubungkan dengan pemikiran Paul Feyerabend dan Martin Heidegger. Feyerabend, dalam Against Method (1975), mengkritik "anarki epistemik" di mana materialisme ilmiah menjadi dogma tirani, mirip dengan "penjara" Camprubí. Feyerabend berargumen bahwa sains maju bukan melalui metode kaku materialis, tapi melalui pluralisme (menggabungkan mitos, seni, dan spiritualitas) untuk menghindari pembatasan yang membuat sains mandul.
Sementara Heidegger, dalam Being and Time (1927) dan esai-esainya tentang teknologi, melihat materialisme sebagai bagian dari "teknik modern" yang mereduksi dunia menjadi "standing-reserve" (sumber daya belaka), menghilangkan esensi keberadaan (Being). Heidegger menyentuh hati dengan mengatakan bahwa sains materialis ini menciptakan "penjara" ontologis, di mana manusia lupa akan misteri kehidupan, dan Camprubí memperkuat ini dengan sejarah konkret: Tanpa melampaui materialisme, sains hanya akan menjadi alat kekuasaan, bukan pembebas jiwa.
Bayangkan seekor kelinci lapar yang tersesat di taman wortel. Ia melihat segala sesuatu sebagai wortel—daun, batu, bahkan bayangannya sendiri—karena kelaparannya membuatnya buta terhadap keindahan taman itu sendiri.
Begitulah sains materialis: Seperti kelinci yang haus akan bukti fisik, ia menganggap seluruh realitas sebagai "wortel" material yang bisa dikunyah dan diukur, tapi lupa bahwa taman kehidupan penuh dengan bunga spiritual, angin misteri, dan cahaya ilahi yang tak terukur.
Kelinci itu akhirnya kelelahan, jatuh, dan dalam mimpi, mendengar suara Tuhan: "Bangunlah, wahai pencari, realitas bukan milikmu untuk dimakan, tapi untuk dirasakan dengan hati." Semoga kita, seperti kelinci itu, terbangun dari penjara materialisme yang menyamar dalam sains, dan merangkul kebebasan pemahaman yang sejati.