Subhan Riyadi
Eduaksi | 2025-08-17 12:56:03

Teori pendidikan di Indonesia saat ini mungkin sudah setinggi langit ketujuh. Berbagai konsep mutakhir dari dunia pendidikan global telah diadopsi ke dalam kurikulum, mulai dari higher order thinking skills hingga pembelajaran berbasis digital.
Namun ironisnya, semua kemajuan itu belum menyentuh jiwa. Pendidikan kita kehilangan ruh yang seharusnya menjadi napas utama dalam proses belajar.
Kritik kami sebagai orang tua bukan soal kekurangan dalam teori atau teknologi, tapi tentang krisis moral dan kemanusiaan dalam pendidikan. Yang perlu diperbaiki bukan sekadar oral, cara menyampaikan materi atau komunikasi guru, tetapi moral, yakni nilai, etika, dan karakter yang semestinya ditanamkan sejak dini.
Aspek Afektif dan Jiwa yang Terabaikan
Kurikulum kita terlalu fokus pada aspek kognitif. Siswa dituntut untuk bisa menjawab soal ujian, mendapatkan nilai tinggi, dan mengejar rangking. Tapi dalam proses itu, aspek afektif (perasaan, nilai, empati) dan psikomotorik (keterampilan fisik, kreativitas, ekspresi diri) terpinggirkan.
Pendidikan yang tidak menyentuh hati akan menghasilkan generasi yang pintar menjawab soal, tapi gagap dalam menghadapi realitas hidup. Anak-anak kita belajar untuk menghafal, bukan untuk memahami. Mereka bisa memecahkan soal matematika rumit, tapi tak mampu merasakan penderitaan temannya yang tertindas. Mereka diajari sains, tapi lupa bagaimana menyapa orang tua dengan santun.
Kesehatan Fisik yang Diabaikan
Dulu, di masa Presiden Soeharto, sekolah-sekolah rutin mengadakan Senam Pagi Indonesia (SPI) atau Senam Kesegaran Jasmani (SKJ).
Aktivitas ini bukan sekadar nostalgia, tapi memiliki dasar ilmiah yang kuat: kesehatan fisik menunjang kecerdasan mental. Kini, praktik seperti itu dianggap usang, padahal justru negara-negara seperti China sedang menghidupkannya kembali.
Politik dalam Kurikulum, Bukan Visi Pendidikan
Sayangnya, kurikulum di Indonesia sering kali bukan dirancang oleh para pendidik sejati, tapi oleh para birokrat atau intelektual yang lebih sibuk mencari posisi dan jabatan.
Akibatnya, kurikulum berubah-ubah mengikuti rezim, bukan mengikuti visi jangka panjang pendidikan bangsa.
Sementara itu, anak-anak kita dibebani dengan tugas-tugas online yang membuat mereka makin lelah secara mental dan makin terpapar pada media sosial. Padahal di Eropa, sudah banyak negara yang mulai membatasi penggunaan media sosial untuk siswa demi kesehatan mental mereka.
Melupakan Warisan Pendidikan Bangsa
Sejatinya, para tokoh bangsa sejak sebelum kemerdekaan sudah memberi arah yang jelas. Tan Malaka menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah mengasah nurani, bukan hanya mencerdaskan pikiran. Ulama-ulama kita bahkan lebih jauh menegaskan bahwa adab lebih utama daripada ilmu.
Dulu, tanpa sertifikasi atau tunjangan besar, para pendidik seperti Umar Bakri mengajar dengan jiwa yang tulus. Karena bagi mereka, menjadi guru adalah panggilan, bukan profesi semata.
Kita Butuh Pendidikan yang Menghidupkan Jiwa
Kini, kita melihat hasil dari sistem pendidikan yang kehilangan nilai: munculnya generasi intelektual yang cerdas tapi korup, pandai bicara tapi feodal, terampil berdebat tapi miskin nurani.
Kami, para orang tua murid, hanya bisa mengeluh dalam diam dan melihat dengan cemas ke mana arah pendidikan anak-anak kami akan dibawa. Tapi keresahan ini tidak boleh dibiarkan. Para pemegang kebijakan, dengarkanlah. Sudah saatnya kita kembali ke hakikat pendidikan: membentuk manusia yang utuh, cerdas pikirannya, lembut hatinya, dan tangguh jiwanya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.