Pemerintah menyebut relokasi pabrik China ke Indonesia bisa menjadi peluang untuk meningkatkan investasi di dalam negeri. Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Todotua Pasaribu, menyebut tren ini bukan hanya sebatas relokasi, melainkan juga membuka peluang ekspansi investasi baru di Tanah Air.
“Dua-duanya pasti, relokasi itu adalah sesuatu karena memang salah satu shifting daripada tarif dan kita sukses bisa me-manage tarif kita 19 persen one of the best in South East Asia. Tentunya banyak manufacturer-manufacturer dari negara lain yang punya kepentingan untuk masuk pada pasar Amerika itu memilih untuk masuk ke kita itu satu,” kata Todotua kepada wartawan disela acara OCBC One Connect 2025 di Hotel Fairmont Jakarta, Rabu (27/8).
Indonesia saat ini mendapatkan tarif dari AS sebesar 19 persen, setara dengan Malaysia, Filipina, dan Thailand. Angka ini lebih rendah dibanding Vietnam yang kena tarif 20 persen, serta jauh di bawah China yang tarifnya sudah melampaui 30 persen.
Todotua melanjutkan, sektor manufaktur menjadi potensial untuk menarik investasi, khususnya dari relokasi pabrik China.
“Sektor-sektor lain itu pasti industri manufacturing banyak pakaian dan lain-lain, di elektronik dan lain-lain tentunya itu satu, yang kedua potensial untuk new investment maksudnya bukan hanya relokasi tetapi dia juga mengembangkan investasi yang baru di sini juga,” ujarnya.
Meski begitu, Todotua mengingatkan persaingan memperebutkan investor masih ketat. Selain Vietnam, kawasan Afrika juga menawarkan tarif rendah untuk masuk ke pasar Amerika.
“Itu tadi yang saya bilang tadi, bagaimana kita memang bisa siap menjadi negara tujuan destinasi investasi bagaimana kita bisa manage perizinan dan regulasi kita semakin lebih baik,” katanya.
Sebagai perbandingan, Todotua menyinggung perbedaan siklus investasi di Indonesia dengan Vietnam. Menurut dia, proses realisasi investasi di Vietnam relatif lebih cepat, yakni hanya sekitar 2 hingga 2,5 tahun.
Sementara di Indonesia, siklus investasi dari tahap masuk hingga beroperasi penuh masih membutuhkan waktu lebih panjang, yakni sekitar 3 hingga 4 tahun.
"Bagaimana kita mengintegrasikan agar semua proses perizinan, lokasi daripada investasi itu menjadi mudah, para investor itu datang bisa lebih mudah, supporting utility terhadap kegiatan berinvestasi juga bisa terbaik, kita bisa memberikan harga energi yang baik sehingga semua investor yang datang di sini itu mereka bisa berinvestasi dan bisa sustain dalam jangka yang panjang,” terang Todotua.
Sebelumnya, sejumlah perusahaan asal China dilaporkan tertarik memperluas bisnis dan membangun pabrik di Indonesia, terdorong oleh tingginya tarif yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap China.
Pendiri perusahaan konsultasi lahan industri di Jakarta, Gao Xiaoyu, menerima banyak permintaan dari perusahaan China terkait rencana tersebut, seperti dikutip dari Reuters, Jumat (15/8).
Pada gelombang awal ekspansi, perusahaan-perusahaan China lebih banyak memilih Vietnam dan Thailand. Namun kini, Indonesia dan negara tetangga lain mulai menjadi tujuan di tengah memanasnya hubungan dagang dengan AS.