Tahun 2025 menjadi panggung drama baru perang dagang Amerika Serikat dan China. Presiden Donald Trump, yang baru sehari menjabat pada 21 Januari, langsung menebar ancaman bea 10 persen terhadap impor China. Alasannya jelas, fentanil yang menurutnya mengalir dari Negeri Tirai Bambu.
Mengutip Reuters, pada awal Februari, ancaman itu berubah menjadi aksi nyata. Pada 1 Februari, Trump memberlakukan tarif 10 persen pada barang Tiongkok, sementara Meksiko dan Kanada terkena 25 persen.
Beijing tak tinggal diam. Tiga hari kemudian, mereka membidik bisnis-bisnis AS seperti Google dan Calvin Klein, serta mengenakan tarif baru 15 persen untuk batu bara dan LNG, 10 persen untuk minyak mentah dan beberapa mobil.
Tak cukup sampai di situ, Tiongkok membatasi ekspor lima logam penting untuk industri pertahanan dan energi bersih.
Bulan berikutnya, ketegangan meningkat. Pada 3 Maret, AS menggandakan tarif terkait fentanil menjadi 20 persen.
Sehari setelahnya, Tiongkok menimpali dengan tarif balasan 10-15 persen terhadap ekspor pertanian AS senilai sekitar USD 21 miliar, membatasi 25 perusahaan AS, dan melarang impor alat pengurut genetik dari Illumina.
April menjadi bulan paling panas. Pada 2 April, Trump mengumumkan tarif “hari pembebasan” dengan bea 34 persen untuk semua barang Tiongkok mulai 9 April, sekaligus menghapus fasilitas bebas bea untuk kiriman kecil dari China dan Hong Kong mulai Mei.
Beijing membalas pada 4 April dengan tarif serupa, membatasi ekspor logam tanah jarang, dan menghentikan pengiriman sejumlah produk pertanian dari AS.
Perang tarif kian memuncak pada pekan kedua April. Pada 8 April, AS menaikkan tarif menjadi 84 persen, dibalas Tiongkok sehari kemudian dengan tarif yang sama dan tambahan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan AS.
Washington lantas mengerek tarif lagi hingga 125 persen, memicu peringatan perjalanan dari Beijing. Tiongkok bahkan mengumumkan rencana membatasi impor film Hollywood dan menyebut strategi tarif Trump sebagai “lelucon”.
Di tengah panasnya suasana, kabar lain muncul pada 15 April. Perusahaan chip AS, Nvidia, mengungkap bahwa pemerintah meminta lisensi ekspor untuk menjual chip H20 ke China.
Ketegangan sedikit mereda pada Mei. Dalam perundingan di Jenewa tanggal 10-12 Mei, kedua negara sepakat menurunkan tarif, AS menjadi 30 persen dari sebelumnya 145 persen, sementara Tiongkok menjadi 10 persen dari 125 persen.
Beijing juga setuju mencabut pembatasan non-tarif. Namun, jeda ini tak berlangsung lama. Pada 31 Mei, Trump menuding Beijing melanggar kesepakatan.
“Amerika Serikat terus berdiskusi dengan RRT untuk mengatasi kurangnya resiprositas perdagangan,” kata Trump. Tiongkok membantah dan menyebut AS yang menerapkan pembatasan diskriminatif.
Juni hingga Juli diwarnai negosiasi naik-turun. Trump dan Presiden Xi Jinping sempat berbicara lewat telepon, perundingan di London membuahkan kerangka kesepakatan, dan ekspor magnet tanah jarang kembali berjalan. Namun, ancaman tarif baru 10 persen terhadap negara BRICS termasuk Tiongkok dari Trump pada 6 Juli menunjukkan rapuhnya gencatan senjata.
Akhir Juli, kedua pihak kembali memperpanjang jeda tarif 90 hari usai pertemuan di Stockholm, meski tanpa terobosan besar.
Agustus ditandai optimisme hati-hati. Menteri Keuangan AS Scott Bessent yakin kesepakatan dengan China masih mungkin. Lisensi ekspor chip H20 untuk Nvidia mulai diterbitkan. Trump mendesak Beijing melipatgandakan pembelian kedelai.