
AKADEMISI Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Indaru Setyo Nurprojo, menilai langkah partai politik menonaktifkan kadernya yang duduk di DPR RI merupakan mekanisme internal, bukan aturan yang diatur secara tegas dalam undang-undang.
"Logika dasarnya, keanggotaan seseorang di legislatif bermula dari keputusan partai politik. Mekanisme penonaktifan ini sudah diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) setiap partai," kata Indaru dikutip Antara, Senin (1/9).
Menurutnya, AD/ART menjadi instrumen kontrol partai terhadap kader yang duduk di parlemen. Meski istilah penonaktifan tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, mekanisme tersebut sah berlaku secara internal. Biasanya, langkah ini ditempuh ketika seorang legislator dinilai merugikan nama baik maupun kepentingan partai.
"Meskipun istilah penonaktifan tidak selalu jelas, mekanismenya ada. Kasus-kasus yang ada sekarang, saya pikir lebih ke konteks merugikan nama dan kepentingan partai," jelas Indaru.
Berujung PAW
Menurutnya, penonaktifan anggota dewan tidak menutup kemungkinan akan berujung pada proses pergantian antar waktu (PAW).
Ia mengatakan jika seorang anggota dinonaktifkan tanpa batas waktu yang jelas, secara otomatis harus ada penggantinya.
"Kalau saya membacanya begitu. Dengan sendirinya, karena enggak jelas sampai batas waktu penonaktifannya sampai kapan, berarti mau enggak mau harus ada penggantinya, PAW-nya," kata dia.
Diketahui, lima anggota DPR RI periode 2024–2029 telah dinonaktifkan oleh partainya buntut pernyataan kontroversial yang memicu kemarahan publik. Mereka adalah Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dan Surya Utama alias Uya Kuya (PAN), Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach (NasDem), serta Adies Kadier (Golkar). (P-4)