
Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Indonesia (UI), Febby Mutiara Nelson, menilai ketentuan terkait penyadapan di Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dapat membatasi tindakan cepat KPK saat operasi tangkap tangan (OTT).
Menurutnya, jika draf RKUHAP disahkan oleh pembentuk undang-undang, akan terjadi pergeseran tata cara penegakan hukum pidana. Hal ini, berpengaruh kepada kinerja lembaga antirasuah.
"Jika RUU KUHAP disahkan, maka akan terjadi pergeseran besar dalam tata cara penegakan hukum pidana, termasuk OTT oleh KPK," ujar Febby saat dikonfirmasi, Rabu (23/7).
"Karena ada pasal-pasal yang membatasi tindakan cepat seperti penyadapan dan penangkapan mendadak. Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari ketua pengadilan," jelas dia.
Pembatasan itu, kata dia, lantaran penyadapan yang dilakukan dalam OTT harus berlangsung tanpa diketahui pihak yang disadap. "Dengan adanya mekanisme izin, rahasia bisa terbuka, dan efektivitas OTT akan hilang," imbuhnya.

Kondisi tersebut juga bertentangan dengan Pasal 12 ayat 1, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C UU KPK terkait serangkaian kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK.
Pasal 12
(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan.
Pasal 12B
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.
Pasal 12C
(1) Penyelidik dan penyidik melaporkan Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang sedang berlangsung kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara berkala.
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan.

Dalam aturan-aturan itu, KPK berwenang melakukan penyadapan saat melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan. Salah satunya, yakni penyadapan bisa dilakukan dengan izin Dewan Pengawas (Dewas). Dalam UU KPK itu, juga disebutkan bahwa penyadapan yang berlangsung dilaporkan secara berkala kepada pimpinan KPK.
"Terkait serangkaian kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK, secara konsekuensi logis untuk mengefektifkan dan mengamankan alat-alat bukti dengan segera, maka perlu dilakukan langkah OTT," ucap dia.
"Dalam sistem KPK saat ini, proses OTT bisa langsung dikoordinasikan internal karena penyelidik dan jaksa berada dalam satu lembaga. Jika harus tunduk pada skema KUHAP baru, maka koordinasi ini menjadi terhambat dan lambat," pungkasnya.
Adapun draft RKUHP yang kumparan terima versi terakhir yakni versi tanggal 10 Juli 2025.
Sebelumnya, KPK mengungkapkan setidaknya ada 17 poin di dalam RKUHAP yang dinilai bermasalah dan tak sinkron dengan kewenangan KPK.
Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menyebut bahwa poin aturan yang dipermasalahkan itu ditemukan usai pihaknya melakukan diskusi dan kajian di internal lembaga.
Sejumlah poin permasalahan itu di antaranya terkait dengan aturan penyadapan, pembatasan dalam penyelidikan, reduksi kewenangan penyelidik, hingga aturan cegah ke luar negeri.