Petugas KPK membawa barang bukti kendaraan yang disita KPK dalam rangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) ditunjukan kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (21/8/2025). KPK berhasil menyita sebanyak 20 kendaraan mewah diantaranya 14 unit mobil dan 6 unit motor. Dalam OTT tersebut KPK turut mengamankan Wakil Menteri Ketenagakerjaan yakni Immanuel Ebenezer Gerungan atau Noel bersama 10 orang lainnya terkait dugaan pemerasan sertifikasi K3.
Oleh : Syahnanto Noerdin*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, pada Rabu Malam, 20 Agustus 2025, menjadi peristiwa politik yang menguji konsistensi komunikasi politik dan komitmen antikorupsi pemerintahan Prabowo Subianto. Kasus ini menghadirkan paradoks antara narasi kampanye antikorupsi dengan realitas praktik governance dalam Kabinet Merah Putih.
Penangkapan Immanuel Ebenezer, yang akrab disapa Noel, merupakan kasus korupsi pertama yang menimpa kabinet Prabowo setelah sekitar satu tahun masa pemerintahan. Berdasarkan laporan, KPK menggulung sekitar 20 orang dalam operasi tersebut, yang menunjukkan dugaan jaringan korupsi yang sistematis di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan.
Kasus ini memiliki dimensi komunikasi politik yang kompleks, mengingat Ebenezer sebelumnya menjadi sorotan publik karena respons kontroversialnya terhadap fenomena tagar #KaburAjaDulu yang dianggap tidak empatis dan tidak memahami keresahan masyarakat.
Dalam konteks teori kredibilitas komunikator, kasus Ebenezer menggambarkan bagaimana dimensi trustworthiness (dapat dipercaya) menjadi komponen krusial dalam komunikasi politik. Aristoteles dalam konsep ethos menekankan bahwa kredibilitas komunikator bergantung pada karakter moral dan kompetensi yang dipersepsikan audiens.
Kasus OTT ini merusak kredibilitas komunikasi pemerintah karena menciptakan inkonsistensi antara pesan antikorupsi yang disampaikan dengan tindakan pejabat pemerintahan. Harold Lasswell (1948) dalam model komunikasinya "Who says what in which channel to whom with what effect" menunjukkan bahwa efektivitas pesan sangat bergantung pada kredibilitas sumber pesan.
Teori disonansi kognitif relevan untuk memahami dampak psikologis kasus ini terhadap persepsi publik. Ketika terjadi ketidaksesuaian antara keyakinan publik tentang komitmen antikorupsi pemerintah dengan realitas kasus korupsi di kabinet, muncul ketegangan kognitif yang mendorong publik untuk menyelaraskan persepsinya.
Menurut Festinger, individu akan berusaha mengurangi disonansi melalui tiga cara: mengubah keyakinan, mengubah perilaku, atau menambah kognisi baru yang mendukung. Dalam konteks politik, hal ini dapat berupa penurunan dukungan politik atau rasionalisasi bahwa kasus ini merupakan pengecualian.
Sementara, Robert Entman (1993) mendefinisikan framing sebagai proses seleksi aspek-aspek tertentu dari realitas yang dipersepsikan untuk membuatnya lebih menonjol dalam teks komunikasi. Pemerintah Prabowo dihadapkan pada tantangan reframing kasus ini dari "kegagalan pengawasan" menjadi "komitmen penegakan hukum tanpa pandang bulu."