Ombudsman RI melaporkan hasil survei terhadap 88 penggilingan padi di 23 provinsi Indonesia. Dari jumlah tersebut, 59 penggilingan tercatat berorientasi pada produksi beras, sementara sisanya hanya menjual jasa penggilingan.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mencatat bahwa dari 59 penggilingan padi yang menghasilkan beras, sekitar 9,1 persen tidak memperoleh pasokan gabah sehingga tidak dapat beroperasi selama Agustus 2025.
“Ini melengkapi temuan yang sebelumnya oleh Ombudsman di Tempuran (Karawang) ada 10 yang sudah tidak beroperasi lagi,” kata Yeka dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (3/9).
Jika dibandingkan dengan Agustus 2024, Yeka juga mencatat terjadinya penurunan pembelian gabah oleh penggilingan padi rata-rata sebesar 13,5 persen pada Agustus 2025.
Penurunan itu bervariasi menurut skala usaha, yakni 8,9 persen pada penggilingan kecil, 12,2 persen pada penggilingan menengah, dan 18,9 persen pada penggilingan besar.
Selain itu, rendemen beras dari gabah kering giling (GKG) juga mengalami penurunan sekitar 1,33 persen, dari 54 persen pada tahun 2024 menjadi 52,67 persen pada tahun ini.
“Itu pun kita lihat, rendemen beras dari GKG menurun sekitar 1,33 persen. Dari tahun lalu 54 persen menjadi 52,67 persen tahun ini. Jadi rendemen pun (ikut) turun,” sebut Yeka.
Ia menilai data tersebut menunjukkan adanya penurunan pasokan gabah ke penggilingan padi yang berimplikasi pada turunnya produksi beras yang disalurkan ke pasar di wilayah survei.
“Nah konsekuensinya karena pasokan pembeliannya berkurang, berarti beras yang dijual ke pasar pun oleh penggilingan padi berkurang,” tutur Yeka.
Pada awal Agustus 2025, Yeka juga mengungkapkan sebanyak 10 dari 23 penggilingan padi di wilayah Karawang tutup akibat ketakutan imbas kasus beras oplosan dan menipisnya stok.
Ia mengatakan, banyak pengusaha penggilingan memilih berhenti beroperasi sementara karena khawatir salah dalam membeli, menggiling, hingga mengemas beras.
"Mereka bahkan memilih menggunakan karung polos karena takut mencantumkan informasi yang salah di label," ujar Yeka, dikutip Rabu (3/9).
Yeka menyebut stok beras di penggilingan tersebut berada di titik kritis, hanya berkisar 5 hingga 10 persen dari jumlah normal. Menurut dia kondisi tersebut terjadi karena ketidakpastian dan ketakutan di kalangan pengusaha penggilingan.
"Saya masuk ke tempat penggilingan padi, di situ sangat kontras, stok mereka berkisar antara 5 sampai 10 persen. Jadi misalnya biasanya mereka punya 100 ton, rata-rata stok, sekarang itu baru punya 5 ton. Jadi stok penggilingan stoknya menipis," kata Yeka.