
Setiap pagi, Andre selalu tampil parlente. Berangkat kerja dengan jas abu-abu gelap, seraya tersenyum penuh percaya diri. Wajahnya tampak lelah, yang tersamar rapi oleh ambisinya. Ia adalah manajer senior di perusahaan konsultan. Tempatnya bekerja yang sudah lama dianggapnya sebagai rumah kedua. Bahkan, mungkin saja sudah menjadi rumah pertamanya.
Penghasilannya dua digit. Ia mengendarai mobil Eropa. Apartemennya menghadap cakrawala kota. Namun terkadang saat tengah malam tiba, ia kerap termenung sendirian. “Setelah belasan tahun bekerja, kenapa aku belum juga bisa merasa tenang ?” gumamnya dalam hati.
Andre menatap mutasi rekeningnya yang selalu menguras saldonya di akhir bulan. Rekening tabungannya seperti tanaman bonsai yang rajin disiram tapi tak kunjung bertumbuh.
Begitulah kehidupan di lapisan atas kelas menengah. Di atas kertas, Andre kaya-raya. Di dunia nyata, ia terjebak dalam gaya hidup yang ia bangun sendiri. Seperti merakit sangkar dari emas. Lalu, terheran-heran mengapa ia tak pernah bisa terbang.
Di balik layar Instagram dan rapat Zoom, banyak profesional muda seperti Andre, berjalan di atas tali tipis antara sukses dan ilusi. Mereka tak sadar bahwa setiap kali ia bertransaksi untuk gaya hidupnya, itu bermakna ia mengurangi kebahagiaannya di hari tua. Mobil dicicil. Rumah diangsur dengan KPR 25 tahun. Liburan ke Jepang menggunakan kredit 0%. Semuanya tampak seperti masuk akal, lantaran semua orang melakukan hal yang sama.
Tapi tak ada yang berkata jujur di meja makan malam. Tentang berapa banyak dari mereka yang sebenarnya menyimpan kecemasan soal nasibnya setelah pensiun tiba.
“Apa yang terjadi kalau besok aku diberhentikan?”
“Bisakah aku pensiun sebelum umur 65?”
“Apakah tabunganku cukup untuk hidup tanpa gaji selama pensiun ?”
Sejatinya kehidupan kelas menengah ini, bukanlah cermin dari kekayaan mereka. Itu lebih tepat disebut seperti proyektor dari ketakutan mereka menjadi biasa-biasa saja. Mereka membeli status, bukan kebutuhan. Mengisi ruang hampa dalam dirinya, dengan belanja barang mewah. Mereka hidup bukan untuk menikmati hidup. Mereka justru hidup untuk mengukuhkan eksistensinya di antara rekan kerja dan algoritma media sosial.
Sampai akhirnya, usia mendekati pensiun tiba. Dan dunia korporat yang dulu mereka bela siang malam, mengganti mereka dengan generasi baru yang lebih cepat kerjanya. Lebih murah gajinya. Lebih bisa kerja multitasking. Kantor tak lagi menelepon. Gaji berhenti mengalir. Tapi gaya hidup belum tahu caranya pensiun.

Hari itu, Andre duduk di kursi rotan rumah kontrakannya di pinggir kota, sambil menikmati hari tuanya. Jasnya tergantung rapi, nyaris tak tersentuh, lantaran ia sudah pensiun. Resminya, Ia memang tak miskin. Namun ia tahu dan sadari bahwa hari tuanya jauh dari apa yang dulu ia bayangkan. Uangnya habis untuk masa lalu, bukan untuk masa depan.
Ia menyesal, bukan karena tak pernah kaya. Ia menyesal karena tak pernah merasa cukup. Ia menyesal karena lupa satu hal penting. Bahwa penghasilan tinggi tanpa kesadaran finansial, sama saja dengan cara mewah untuk menuju kesulitan.
Pada akhirnya, siapa yang bisa mengelola keuangannyalah yang menang dalam hidup ini. Mereka yang bijak mengatur ritme hidupnya. Bukan mereka yang paling banyak berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uangnya.
Sebab itu, sebelum pensiun memaksa kita untuk diam. Mari kita pelajari seni hidup yang tahu kapan kita harus merasa cukup. Karena jika tidak, kita hanya sedang bekerja keras, untuk miskin dengan cara yang lebih mahal. Iya gak?