Ismail Suardi Wekke
Sejarah | 2025-08-17 22:45:52

Setiap 17 Agustus, ratusan juta pasang mata di seluruh Indonesia tertuju pada satu titik: Istana Negara. Bukan hanya untuk melihat Presiden yang gagah berpidato, atau para menteri yang berbusana adat nan memesona. Lebih dari itu, kita menyaksikan sebuah ritual yang berulang, namun tak pernah kehilangan maknanya: upacara peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Tahun ini, ada yang terasa berbeda, dan justru inilah yang membuat kita bangga.
Upacara kali ini bukan hanya milik pemimpin yang sedang menjabat. Hadirnya mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden, duduk bersama dalam satu panggung, adalah pemandangan yang menghangatkan hati. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan simbol kuat.
Ini menunjukkan bahwa meskipun kita berbeda pandangan politik, meskipun ada riak dan gelombang dalam perjalanan bangsa, pada akhirnya kita kembali ke rumah yang sama: Indonesia. Kebersamaan ini mengirimkan pesan tegas kepada seluruh rakyat bahwa persatuan lebih penting dari persaingan, bahwa kontestasi berakhir saat kepentingan bangsa berada di garis depan.
Tentu, puncak dari upacara ini adalah momen sakral pengibaran Bendera Merah Putih. Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) adalah detak jantung dari ritual ini. Bayangkan, seorang pemuda atau pemudi dari pelosok negeri, dengan langkah tegap dan seragam putih bersih, berjalan dengan khidmat membawa bendera pusaka.
Ada satu momen yang selalu berhasil membuat bulu kuduk merinding. Momen ketika bendera pusaka dari wakil pelajar seluruh Indonesia ini dibawa dengan penuh hormat. Mereka adalah representasi dari generasi penerus, dari Sabang sampai Merauke, yang dipercaya untuk mengemban tugas mulia.
Saat bendera itu perlahan naik, diiringi lagu "Indonesia Raya" yang dikumandangkan serentak, ada jutaan cerita yang tumpah ruah. Ada cerita tentang keringat dan latihan berjam-jam, tentang ketakutan akan kesalahan kecil, dan tentang kebanggaan yang tak terlukiskan. Bagi mereka, ini bukan sekadar tugas, ini adalah mimpi yang menjadi nyata.
Sebuah pengabdian tulus yang mengingatkan kita semua: kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan yang harus terus dijaga dan dihargai. Dan mereka, para pemuda-pemudi pilihan ini, adalah contoh nyata bagaimana semangat kebangsaan terus membara di dada generasi muda.
Melihat semua ini, kita menyadari bahwa perayaan kemerdekaan kita bukan lagi sekadar upacara kaku. Ia telah menjadi sebuah ekspresi budaya, sebuah perayaan kebersamaan. Perayaan ini adalah cermin dari keragaman kita yang disatukan oleh rasa cinta terhadap tanah air. Kita bisa merayakan dengan cara yang formal dan khidmat, namun di saat yang sama, kita bisa merayakan dengan penuh kegembiraan dan kebersamaan. Gaya kita, Indonesia, adalah gaya yang merangkul semua perbedaan, gaya yang menempatkan persatuan di atas segalanya.
Upacara di Istana Negara, yang disiarkan ke seluruh penjuru negeri, bukan hanya menjadi tontonan, melainkan juga pelajaran berharga. Ini adalah cara kita untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan, mengenang jasa para pahlawan, dan merajut kembali tali persaudaraan yang kemungkinan kendur karena pemilihan presiden ataupun momen politik lainnya.
Jadi, saat 17 Agustus tiba, mari kita renungkan kembali. Bukan hanya tentang selebrasi, tetapi tentang makna di baliknya. Ini adalah gaya kita merayakan kemerdekaan, sebuah gaya yang otentik dan unik. Sebuah gaya yang hanya dimiliki oleh Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.