Di tengah sorak sorai menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, terjadi sebuah fenomena yang bisa kita anggap seperti “kecil” di tengah protes terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan saat ini tengah mengemuka yakni– pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami (One Piece) di bawah bendera Merah Putih.
Berbagai respons dari sejumlah pejabat negara juga cukup keras: beberapa pejabat menyebut aksi ini sebagai "provokatif" karena bentuk upaya merendahkan simbol negara, bahkan berpotensi perbuatan makar. Nyatanya dapat kita nilai, hal ini tidak ditemukan niat jahat apa pun bahkan permulaan dari aksi yang dianggap tersebut— hal ini hanya murni bentuk ekspresi budaya popular sebagai bentuk ungkapan protes terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah teranyar saat ini.
Dalam tulisan ini sebagai respons terhadap sikap pemerintah, kita coba telaah apakah hal ini benar sebagai bentuk pelanggaran ketentuan terhadap hukum yang berlaku dan kita bisa ambil contoh bentuk protes di negara lain yang menggunakan budaya pop sebagai bentuk simbol protes tersebut.
Apakah ini benar bentuk pelanggaran hukum?
Jika kita telaah dari aspek hukum pidana, maka kita dapat melihat klausul dalam KUHP yang masih berlaku saat ini. Apabila ada anggapan bahwa perbuatan pengibaran bendera adalah perbuatan makar atau aanslag maka perlu kita telaah dalam Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 107 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
Maka terhadap ketentuan makar, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa aanslag itu biasanya dilakukan dengan perbuatan kekerasan dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang berdaulat saat ini. Sehingga apabila kita sandingkan dengan kasus bendera fiksi ini, elemen-subversi/makar jelas tidak hadir baik dalam hal unsur perbuatan dan tujuan yang sungguh jauh berbeda dari Gerakan tersebut.
Termasuk dengan keberlakuan Undang-Undang No. 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan juga tidak melarang adanya pengibaran simbol lain selama tidak menggantikan atau melecehkan Bendera Negara. Banyak kita saksikan dalam lini masa media social bendera fiksi tersebut berkibar di bawah bendera merah putih. Maka apabila ditegakkan upaya hukum oleh aparat penegakkan hukum maka patut dipertanyakan dasar hukum yang digunakan. Karena penindakan terhadap fenomena ini dapat dianggap sebagai bentuk penyikapan yang tidak proporsional.
Budaya Populer: Simbol Solidaritas Gerakan
Ada satu fenomena yang mungkin dapat kita sandingkan dengan fenomena protes terhadap pemerintahan dengan menggunakan simbol-simbol pop kultur. Sebagai contoh, Korea Selatan menjadi sorotan karena masyarakatnya menyulap simbol budaya pop—K-pop light sticks, lagu-lagu idol, hingga bunga karangan—menjadi alat protes politik: Ribuan pemuda dan aktivis di Seoul pada bulan Desember 2024–Januari 2025 membawa K-pop light sticks dalam protes menuntut pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol setelah deklarasi darurat militer singkat. Fenomena ini bukan sekadar estetika, melainkan simbol solidaritas dan mobilisasi budaya massa.
Dengan melihat fenomena tersebut menunjukkan sebuah perbedaan sikap, negara maju demokrasi tidak merasa terancam oleh simbol budaya pop—malah mengakui dan meresponsnya dengan cara elegan, selama tidak ada unsur kekerasan atau makar. Kebebasan ruang berekspresi dijaga bersama.
Hal ini juga sempat diluruskan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Beliau pun menegaskan bahwa ini adalah ekspresi budaya pop, bukan simbol separatis—sehingga tidak perlu dibesar-besarkan. Maka, dapat kita nilai bahwa Overreaksi pejabat pemerintah dalam menanggapi bendera fiksi tersebut mencerminkan kegagapan dalam membedakan kreativitas dan kriminalitas.