REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hadis merupakan sumber kedua ajaran Islam, yakni setelah Alquran. Ada tujuh tahap yang berkaitan dengan diseminasi hadis.
Periode pertama adalah masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya. Pada masa ini, Nabi Muhammad SAW hidup di tengah masyarakat.
Ketika itu, Rasulullah SAW memerintahkan sahabatnya menuliskan setiap wahyu yang turun. Secara bersamaan, beliau melarang menulis hadis. Tujuannya agar semua potensi diarahkan pada penulisan ayat-ayat Alquran.
Namun, keinginan para sahabat mencatat hadis tak bisa dibendung. Hal ini disebutkan oleh Anas bin Malik: "Ketika kami berada di sisi Nabi, kami simak hadisnya. Ketika selesai (Nabi SAW pulang), kami mendiskusikan hadis tersebut hingga kami menghafalnya."
Kala itu, hadis diterima para sahabat ada yang secara langsung, yaitu melalui majelis pengajian serta karena respons terhadap perilaku umat yang membutuhkan penjelasan langsung dari Rasul SAW.
Ada juga hadis yang diterima secara tak langsung. Biasanya hal itu diakibatkan oleh beberapa hal, seperti kesibukan yang dialami sahabat, tempat tinggal sahabat yang jauh, atau perasaan malu untuk bertanya langsung kepada Nabi SAW.
Sebagai contoh, munculnya sebuah hadis yang sebagai jawaban atas pertanyaan seorang perempuan. Muslimah itu bertanya mengenai bagaimana cara membersihkan diri dari haid.
Periode kedua. Ini dikenal pula sebagai masa membatasi hadis dan menyedikitkan riwayat. Ini tepatnya terjadi pada masa empat khalifah utama: Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Terutama pasca-syahidnya Utsman, situasi politik dan perpecahan umat Islam berimbas pada penyebaran hadis. Maka, umat Islam diingatkan untuk mencermati hadis yang mereka terima.
Periode ketiga. Ini disebut juga masa penyebaran riwayat ke kota-kota yang berlangsung hingga era tabiin besar. Dalam fase ini, daulah Islam meluas hingga ke Syam, Irak, Mesir, Persia, Samarkand, serta Spanyol.
Ketika itu, misal, seorang sahabat yang mendengar sebuah riwayat yang belum pernah didengarnya, akan berkunjung ke wilayah sahabat lain yang disebut meriwayatkan hadis itu. Sebagai contoh, dalam riwayat Imam Bukhari, Ahmad, dan at-Tabari serta al-Baihaki disebutkan, Jabir pernah pergi ke Suriah dengan maksud seperti di atas.
Periode keempat. Ini dinamakan masa penulisan dan kodifikasi resmi. Tepatnya berlangsung sejak masa Khalifah Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz (717-720 Masehi). Semuanya bermula dari keprihatinan sang amirul mukminin lantaran kian berkurangnya penghafal hadis.
Umar mengirimkan surat kepada gubernur-gubernurnya untuk menuliskan hadis yang berasal dari penghafal dan ulama di tempat mereka masing-masing. Kebijakan ini tercatat sebagai kodifikasi pertama hadis secara resmi. Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri merupakan ulama besar pertama yang membukukan hadis.
Periode kelima. Inilah masa pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan. Hal ini terkait dengan upaya membedakan antara hadis dan fatwa para sahabat, serta adanya fenomena pemalsuan hadis.
Periode keenam. Ini disebut masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan. Para ulama hadis pada masa ini berlomba menghafal sebanyak-banyaknya hadis yang sudah dikodifikasi.
Hingga kemudian muncul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadis. Para alim juga fokus pada perbaikan susunan kitab hadis dan mengumpulkan hadis yang ada pada kitab sebelumnya ke dalam kitab yang lebih besar.
Periode ketujuh. Ini terimbas pelbagai peristiwa, seperti Penghancuran Baghdad oleh Hulagu Khan. Alhasil, pusat kegiatan ilmuwan hadis bergeser ke Mesir atau India.
Cara penyampaian hadis pun berbeda. Kadang-kadang berupa pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan hadis dari guru itu yang dinamakan dengan ijazah.