
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menolak usulan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang akan mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) tinggi terhadap bahan baku tekstil, yakni benang filamen sintentik tertentu asal China.
Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Mendag Nomor PD. 01/392/M-DAG/SD/06 /2025 yang ditujukan kepada Ketua KADI. Dalam salinan surat yang diterima kumparan, penolakan tersebut berdasarkan sejumlah pertimbangan dari Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Kepala Bappenas, Menteri Perindustrian, hingga Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), serta kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Tanah Air.
Mendag menjelaskan, pasokan benang filamen sintetik tertentu ke pasar domestik sangat terbatas dikarenakan kapasitas produksi nasional Benang Filamen Sintetik Tertentu saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan industri pengguna, sebagian besar produsen Benang Filamen Sintetik Tertentu memproduksi untuk dipakai sendiri, dan produsen utama berada di Kawasan Berikat.
Saat ini, di sektor hulu industri TPT telah dikenakan kebijakan trade remedies yaitu BMTP Benang (PMK No.46 Tahun 2023) dan BMAD Polyester Staple Fiber dari India, RRT, dan Taiwan (PMK No.176 Tahun 2022), sehingga pengenaan BMAD terhadap Benang Filamen Sintetik Tertentu yang merupakan bahan baku utama akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing industri hilir.
Sektor industri TPT, baik hulu maupun hilir, sedang menghadapi tekanan akibat dinamika geo-ekonomi-politik global, pengenaan tarif resiprokal Amerika Serikat, dan penutupan beberapa industri. Terlebih, kontribusi sektor industri TPT mulai menurun terhadap PDB terutama setelah pandemi COVID-19, dari sebesar 1,3 persen (2019) menjadi 1,1 persen (2024).
"Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, kami memutuskan untuk tidak memproses lebih lanjut pengenaan BMAD terhadap Impor Produk Benang Filamen Sintetik Tertentu yang berasal dari Republik Rakyat Tiongkok," ujar Mendag seperti dikutip dari salinan surat tersebut, Kamis (19/6).

Sebelumnya, KADI mengusulkan untuk mengenakan tarif BMAD mulai dari 5,12 persen hingga 42,3 persen untuk benang filamen tertentu. Namun, hal ini mendapat penolakan dari industri tekstil. Sebab, benang filamen sintetik seperti Partially Oriented Yarn (POY) dan Draw Textured Yarn (DTY) adalah bahan baku utama dalam pembuatan tekstil, yang belum bisa sepenuhnya didapatkan di dalam negeri.
Kebutuhan POY industri tekstil dalam negeri mencapai 257.600 ton per tahun. Sedangkan ketersediaan POY setiap tahunnya hanya 141.910 ton, sehingga masih ada kekurangan sekitar 115.170 ton untuk memenuhi kebutuhan industri TPT dalam negeri.
Merespons keputusan Mendag tersebut, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Anne P. Sutanto, dirinya mengapresiasi pemerintah yang bersedia mendengarkan masukan dunia usaha berdasarkan informasi terkini dan dinamika pasar dunia.
Menurutnya, pengenaan BMAD memang bukan solusi yang tepat untuk industri hulu penghasil POY dan DTY. Apalagi menurut Anne, kebutuhan POY meningkat hingga sepuluh kali lipat dalam dua tahun terakhir, lebih besar dari kapasitas produksi POY dalam negeri.
"Sehingga pengenaan anti dumping akan menurunkan daya saing produksi turunan tekstil yang dihasilkan oleh produsen tekstil nasional terutama 101 perusahaan yang mengajukan petisi," kata Anne.
Dia melanjutkan, adanya BMAD justru menurunkan daya saing industri tekstil dalam negeri. Sebanyak 101 pengusaha tekstil juga telah mengajukan petisi bersedia untuk menyerap kapasitas produksi POY dalam negeri, dengan praktik standar berbisnis.
"Malah dari perwakilan 101 pengusaha juga mengusulkan pemerintah melalui Kemenperin tetap dapat mengatur harmonisasi kebutuhan impor POY dan DTY, berdasarkan kebutuhan dalam negeri dan kapasitas produksi dalam negeri. Sehingga kekhawatiran mengenai dumping dari negara lain bisa tetap diatasi dengan pengaturan impor oleh pemerintah sesuai kinerja produksi masing-masing pihak," jelasnya.