TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tapanuli Tengah memprotes Masinton Pasaribu soal peggunaan dana Rp 3 miliar untuk acara ulang tahun kabupaten yang ke-80. Padahal, dana kegiatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2025 perubahan yang belum disetujui DPRD.
Anggota DPRD yang mempersoalkan kegiatan tersebut yakni Musliadi Simanjuntak, Abdul Basir Situmeang, dan Antonius Hutabarat. Musliadi menjelaskan pembahasan APBD perubahan 2025 sudah dimulai sejak 5 Agustus lalu. Namun, eksekuti lewat tim anggaran pemerintah daerah dan DPRD belum menemukan kata sepakat.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
"Kami keberatan dengan penggunaan anggaran APBD perubahan sebelum ditetapkan menjadi APBD tahun anggaran 2025," kata Musliadi dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 27 Agustus 2025.
Salah satu kegiatan usulan tim anggaran pemerintah daerah yakni acara ulang tahun Kabupaten Tapteng yang jatuh pada 24 Agustus. Meski baru kegiatan diusulkan, kata Musliadi, acara tersebut sudah berlangsung pada 18-24 Agustus lalu.
Menurut Musliadi, penggunaan anggaran daerah sebelum ada persetujuan bersama antara DPRD dan bupati tidak sesuai aturan. Aturan yang dimaksud yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Hal ini, ia melanjutkan, berpotensi menimbulkan kerugian negara. "Kami khawatir ini menjerat DPRD. Makanya kami sampaikan laporan sekaligus berkonsultasi dengan dinas terkait di Pemprov Sumut," katanya.
Selain itu, Musliadi menilai acara ulang tahun Kabupaten Tapteng hanya seremonial yang berlebihan dan pemborosan. Hal ini bertentangan dengan imbauan Presiden Prabowo Subianto yang meminta kepala daerah membatasi kegiatan bersifat seremonial.
Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu menjelaskan apabila eksekutif dan legislatif tak kunjung menyepakati APBD perubahan sampai 16 Agustus 2025, maka lahir peraturan kepala daerah. Aturan kepala daerah itu, kata Masinton, keluar setelah konsultasi dengan pemerintah Sumatera Utara dan Kementerian Dalam Negeri.
"Jadi produknya tidak Perda, tapi Perkada, kewenangan sepenuhnya di kepala daerah. Biaya Rp 3 miliar untuk seluruh OPD dan kegiatan selama sepekan di seluruh kecamatan. Murah meriah karena efesiensi. Mereka salah makan obat, makanya belajar, banyak baca. Makanya malas menanggapinya," kata politikus PDI Perjuangan itu.