Hadi Susiono Panduk
Khazanah | 2025-08-23 14:46:55

Kepala dan buntut. Satu ungkapan yang tidak bisa dipisahkan. Ada istilah ‘sup kepala dan sup buntut.’ Sama-sama enak! Para penyuka kuliner pasti tidak asing dengan kedua jenis masakan berkuah ini. Lidah bergoyang! Apalagi di siang hari yang panas sekali, seperti siang ini.
Banyak orang yang ingin menjadi kepala (baca: bukan kepala ikan). Menjadi kepala artinya menjadi pemimpin, leader, rais, ketua, manager dan terma sejenisnya. Dia me-manage, mensupervisi, mengontrol atas jalannya sesuatu. Manusia bertipe leader, selalu mencari terobosan atas kebuntuan suatu persoalan. Bottle-necking dan problem solving person.
Di sisi lain, tidak sedikit manusia yang puas dengan menjadi buntut (baca: bukan buntut sapi). Manusia ‘buntut’ selalu mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh manusia ‘kepala.’ Tak jarang, tidak ada resistensi yang cukup berarti dalam membuntut. Untung saja, yang dibuntuti benar-benar manusia kepala, bukan sama-sama manusia buntut.
Manakah yang lebih penting, menjadi manusia ‘kepala’ atau manusia ‘buntut?’ Jawabannya, keduanya sama-sama berperan penting, selagi tidak salah peran, manusia ‘kepala’ yang membuntut, atau manusia ‘buntut’ yang mengepala. Jika peran keduanya up side down—terbalik, maka akan menimbulkan turbulensi kepala-buntut, yang bisa menyebabkan keretakan dalam interaksi, berujung pada disintegrasi di antara keduanya.
Bagaimana seharusnya menjadi ‘kepala?’ Menarik sekali petuah dan semboyan dari Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, atau lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Beliau memformulasikan pola kepimpinan kepala dengan, ‘Ing Ngarso Sung Tulodo’ artinya, ing berarti “di”, ngarso yang berarti “depan”, sung berarti “jadi”, dan tulodo yang merupakan “contoh” atau “panutan”. Jadi, seorang pemimpin harus memiliki sikap serta perilaku yang patut untuk dijadikan contoh oleh pengikutnya. Konsistensi dan integritas dalam ucap dan laku.
Lantas bagaimana jika mejadi ‘buntut?’ Ki Hajar Dewantara memberikan panduan dengan, “Tut Wuri Handayani,” tut wuri artinya “di belakang” atau mengikuti dari belakang”, dan handayani yang berarti “memberikan dorongan” atau “semangat”. Inti sarinya, ketika menjadi pengikut, selalu memberikan semangat atau dorongan kepada pemimpinnya demi menggapai apa-apa yang hendak dicapai dalam consensus visi dan misi.
Jika saja dua dari tiga semboyan dari Bapak Pendidikan Indonesia (Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani) selalu diaplikasikan dalam interaksi sosial, berbangsa dan bernegara, maka tidak ada kata lain, selain bangsa Indonesia akan menjadi pemain utama, key dalam segala lini percaturan dunia. Indonesia bisa menggeser dominasi negara-negara maju di dunia, yang hingga kini masih di dominasi oleh negara-negara di Kawasan Eropa Barat, Amerika Utara, Australia, Selandia Baru dan Asia Timur.
Tidak percaya? Mulai sekarang, praktikkan jurus jitu menjadi bangsa andal ala Ki Hajar Dewantara, dan jangan kaget jika rating dan kurva peradaban Anda akan mengalami kenaikan tajam. Dan, Anda juga dapat menampik laporan terbaru dari Digital Civility Index (DCI) 2020, yang mengukur tingkat kesopanan digital penggunaan internet dunia, saat berkomunikasi di dunia maya, menunjukkan bahwa warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Hal ini, menunjukkan netizen Indonesia cenderung kurang sopan dalam berinteraksi di dunia maya, dengan faktor-faktor seperti hoaks, penipuan, ujaran kebencian, dan diskriminasi.
Masa depan bangsa Indonesia ada di tangan Anda, bukan di tangan bangsa atau negara lain. Maka momentum peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, dapat dijadikannya sebagai stepping stone menuju milestone, dengan secara konsisten membangun jiwa dan raga untuk kemajuan bangsa dan negara.
Wallahu ‘Alamu Bishawaab
Hadi Susiono Panduk,
Kolumnis Muslim. Wakil Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Lebak, Pengurus MUI Kabupaten Lebak, Dewan Pakar ICMI Orwil Banten, dan Majelis Pakar P2i Provinsi Banten. Kelahiran Undaan Kidul, Kudus-Jawa Tengah. Alumnus Pondok Pesantren Sabilillah, al-Khoirot dan MA Nahdlatul Muslimin, Kudus dan Universitas Diponegoro Semarang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.