Jakarta, CNBC Indonesia - Para peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menganggap, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang merespons aksi unjuk rasa atau kerusuhan luas demo Agustus 2025 belum menjawab akar permasalahan yang membuat masyarakat marah saat itu.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), sekaligus peneliti senior LPEM FEB UI Teguh Dartanto mengatakan, pernyataan kepala negara di Istana pada 31 Agustus 2025 belum menjawab isu besar protes kalangan kelas menengah itu, yaitu masalah kesulitan mendapat pekerjaan dengan upah layak, serta minimnya lapangan pekerjaan formal.
"Respons yang ada dari presiden memang belum cukup meng-address permasalahan yang mendasar. Artinya, masih dalam konteks politik dan keamanan. Tetapi, isu besar terkait dengan protes itu, belum disasar mendalam," kata Teguh dikutip dari youtube LPEM FEB UI, Kamis (4/9/2025).
"Ini kan masalah orang lapar, orang frustasi, orang kehilangan pekerjaan. Tetapi, di sisi lain ada yang berbagai angka itu terlihat indah, tapi tidak mencerminkan apa yang dirasakan oleh masyarakat," tegasnya.
Oleh sebab itu, ia mengatakan untuk menyelesaikan masalah demonstrasi yang berkepanjangan dan meluas ini, Presiden Prabowo Subianto harus tegas mengambil keputusan yang selama ini telah memberatkan rakyatnya sendiri.
Masalah itu seperti pemangkasan anggaran atau efisiensi yang justru mematikan ekonomi rakyat bawah, hingga pemotongan anggaran transfer ke daerah yang membuat pemerintah daerah menaikkan secara besar-besaran tarif pajak bumi dan bangunan maupun pajak kendaraan bermotor.
Sebagaimana diketahui, pemerintah menetapkan alokasi Transfer ke Daerah atau TKD sebesar Rp 649,9 triliun dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2026. Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan anggaran TKD pada 2025 sebesar Rp 848,52 triliun.
"Pertama yang harus dilakukan adalah peningkatan transfer ke daerah, batalkan kenaikan berbagai macam pajak daerah atau moratorium sementara, sehingga ini bisa meredakan, bahwa real yang dilakukan," ucap Teguh.
"Karena pajak daerah ini sebenarnya salah satu pencetus utama yang menjadi bergulir seperti bola salju protes-protes ini," tegasnya.
Kedua, ia menyarankan, program-program mercusuar Prabowo yang selama ini dibentuk atas dasar keinginan pribadi harus direvisi ulang dengan lebih realistis. Salah satunya terkait dengan program makan bergizi gratis yang telah banyak memakan anggaran. Anggaran MBG pada 2026 mencapai 335 triliun atau naik 96% dibanding 2025 yang senilai Rp 171 triliun.
"Program ini, MBG ini, yang sangat-sangat menelan biaya paling banyak, dan itu yang merubah struktur anggaran kita, kalau itu misalnya targetnya sudah lah, kita fokus aja misalnya SD ke bawah," ujar Teguh.
Ketiga, terkait dengan lapangan pekerja formal yang harus segera direalisasikan pemerintah untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini yang mayoritas merupakan usia produktif, dan tengah terdampak gelombang besar pemutusan hubungan kerja atau PHK.
"Sehingga menurut saya harus ada program-program, misalnya dalam waktu sekejap, ini untuk yang korban-korban PHK kita harus bener-bener bisa melakukan yang namanya on demand application untuk program-program jaminan sosial.," papar Teguh.
Sebelumnya, peneliti ekonomi untuk Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan menyebut persoalan utama yang memicu gelombang demonstrasi Agustus 2025 memang terkait dengan krisis kepercayaan kepada pemerintah, akibat runtuhnya legitimasi fiskal.
Menurutnya, masyarakat diminta membayar pajak, iuran, hingga menerima kebijakan efisiensi pemerintah. Namun di sisi lain, publik melihat tanda-tanda pemborosan, seperti penambahan jumlah kementerian dan lembaga, praktik rangkap jabatan di BUMN, serta menaikkan gaji dan tunjangan bagi pejabat dan anggota DPR.
"Kontradiksi ini menciptakan krisis legitimasi fiskal. Karena pada dasarnya fondasi kepercayaan yang menopangnya itu runtuh. Dalam teori ekonomi politik kita ketahui bahwa pajak adalah kontrak sosial antara rakyat dengan negara," ujar Deni dalam diskusi publik CSIS.
Selain itu, kondisi ini juga mencerminkan ketimpangan dan beban ekonomi yang semakin berat. Pertumbuhan ekonomi memang stabil di kisaran 5%, namun Deni menilai distribusinya semakin timpang karena bias pada sektor padat modal.
Gini ratio masih di angka 0,39, kelas menengah yang terus menurun, dan banyaknya masyarakat yang berada hanya sedikit di atas garis kemiskinan.
"Kalau pakai standar Bank Dunia yang sekarang mungkin tingkat kemiskinannya lebih tinggi lagi. Belakangan ini tingkat inflasi umum itu rendah, tapi pada waktu tertentu tingkat volatile food sangat tinggi. Misalnya hari ini harga beras itu kisaran Rp14.000 sampai Rp18.000, tengahnya misalnya Rp16.000 itu sangat-sangat membebani masyarakat," ujarnya.
Dari sisi ketenagakerjaan, Deni menyoroti tingginya tingkat PHK dan pekerja informal yang tidak dapat menghasilkan pendapatan layak yang mampu mengimbangi biaya hidup.
Di tengah berbagai beban ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat, pemerintah justru mencanangkan program-program mahal yang dinilai Deni masih tidak efektif untuk mendorong perekonomian.
Seperti salah satunya program Makan Bergizi Gratis yang dianggarkan Rp 335 triliun dan anggaran belanja untuk pertahanan pertahanan, keamanan, dan ketertiban Rp 565 triliun mulai tahun depan.
"Jadi permasalahannya adalah secara ironis arah dari belanja negara justru juga tidak adil dan malah menambah luka. Belanja bantuan dan perlindungan sosial itu terus mengecil," ujar Deni.
"Permasalahannya adalah bagaimana anggaran itu dibelanjakan dan pertanggungjawaban serta transparansinya itu masih tidak jelas hingga hari ini. Apakah dana-dana yang dikeluarkan itu untuk membeli alat-alat yang baik, yang proper dalam organisasi angkatan pertahanan kita, atau kepolisian kita, atau malah itu menjadi alat untuk memukul rakyatnya sendiri," ujarnya.
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Said Iqbal Usul Bentuk Satgas PHK, Prabowo: Buruh Harus Kita Bela