Penyelidik PBB mengungkap bukti adanya penyiksaan sistematis yang dilakukan oleh junta militer Myanmar kepada lawan politiknya sejak merebut kekuasaan dari pemerintahan demokratis pada 2021.
Mengutip Reuters, Selasa (12/8), temuan ini berasal dari laporan Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar (Independent Investigative Mechanism for Myanmar/IIMM)--badan yang dibentuk pada 2018 untuk mengumpulkan dan menganalisis bukti pelanggaran HAM berat di bawah hukum internasional.
Bentuk penyiksaan yang teridentifikasi meliputi sengatan listrik, pemerkosaan massal, pencekikan, hingga pencabutan kuku dengan tang.
“Kami telah menemukan bukti signifikan, termasuk kesaksian saksi mata, yang menunjukkan adanya penyiksaan sistematis di fasilitas penahanan Myanmar,” ujar Kepala IIMM Nicholas Koumjian dalam pernyataannya.
Meski tidak menyebut nama, laporan setebal 16 halaman itu mengungkap keterlibatan sejumlah pejabat berpangkat tinggi dalam tindakan penyiksaan--banyak di antaranya berujung pada kematian korban.
Laporan tersebut mencakup periode satu tahun hingga 30 Juni, berdasarkan informasi dari lebih dari 1.300 sumber, termasuk ratusan kesaksian saksi mata, bukti forensik, dokumen, dan foto. Di dalamnya disebutkan juga banyak anak-anak yang menjadi korban penangkapan dan kemudian penyiksaan.
Penyelidik pun memusatkan perhatian pada kesaksian korban yang masih mengingat pelaku secara jelas dalam menyusun laporan ini.
“Orang-orang sering mengetahui nama atau setidaknya mengenali wajah mereka yang menyiksa mereka atau teman-teman mereka,” kata Koumjian kepada wartawan di Jenewa.
Hingga kini, pemerintah junta Myanmar belum memberikan komentar, termasuk tidak menanggapi lebih dari dua lusin permintaan informasi dari tim PBB terkait dugaan kejahatan serta permintaan akses masuk ke negara tersebut.
Dalih mereka sejauh ini atas tindakan tuduhan ini adalah untuk menjamin perdamaian dan keamanan dalam negeri. Bahkan membantah telah terjadi kekejaman dan menyalahkan "teroris" sebagai penyebab kerusuhan.
Sejak dibentuk, IIMM menyelidiki pelanggaran kemanusiaan di Myanmar sejak 2011, termasuk kejahatan terhadap minoritas Muslim Rohingya pada 2017 yang memaksa ratusan ribu orang melarikan diri, serta pelanggaran yang menimpa berbagai kelompok etnis sejak kudeta.
Badan ini juga bekerja sama dengan yurisdiksi Inggris dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang tengah melakukan penyelidikan serupa.
Myanmar kini berada di bawah kendali junta militer usai kudeta yang terjadi pada 2021, puluhan ribu orang, kata PBB, telah ditahan sejak saat itu. Kudeta itu pun telah menyebabkan Myanmar jatuh ke dalam kondisi perang saudara.
Adapun pimpinan junta Min Aung Hlaing baru saja mengakhiri keadaan darurat selama empat tahun bulan lalu. Ia mengumumkan pembentukan pemerintahan baru, dengan dirinya sendiri sebagai pelaksana tugas presiden hingga berlangsungnya pemilihan umum.