
Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha, mengatakan Indonesia memiliki UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran yang mengatur hak dan pelindungan pekerja migran, khususnya pekerja migran perempuan.
Judha mengungkapkan, 75% pekerja migran WNI merupakan perempuan. Tingginya jumlah pekerja migran sayangnya juga konsisten dengan jumlah kasus yang melibatkan mereka, terutama pekerja migran perempuan.
"Tahun lalu ada 67 ribu kasus lebih yang dihadapi WNI, mayoritas pekerja migran, dan saya sampaikan [sebagian besar] pekerja migran perempuan. Yang menyedihkan adalah kami mencatat peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Di 2019 hanya 24 ribu kasus, saat ini sudah 67 ribu kasus dan kami antisipasi tahun depan akan naik," kata Judha di diskusi publik yang digelar LPSK untuk merefleksikan 41 tahun ratifikasi CEDAW di Indonesia, Rabu (23/7).
Dengan kenaikan jumlah kasus yang dihadapi pekerja migran utamanya perempuan di luar negeri, maka tantangannya juga semakin banyak dan kompleks.
"Dan dalam catatan kami ada 675 korban TPPO perempuan yang kami catat sejak 2023 hingga saat ini, dan kita sudah aware saat ini kompleksitas, tantangan bukan cuma angka tapi kompleksitas kasus," tuturnya.
Judha mengatakan jika dulu TPPO perempuan banyak berasal dari kalangan miskin, daerah terpencil bahkan tidak berpendidikan, maka saat ini 'tren' yang dihadapi berbeda.
"Saat ini yang kita hadapi kasus TPPO [melibatkan] gen Z, berpendidikan -- ada yang punya master degree korban online scam. Kemudian dari kelompok ekonomi menengah, tech savy, dan sebagian perempuan. Jadi semakin kompleks," ungkapnya.
Dengan demikian, Judha menyatakan kasus TPPO yang dulu sering dianggap jauh oleh masyarakat, kini sudah tidak lagi karena siapa saja di sekitar kita bisa menjadi korban.
"Kami catat Jakarta, Jawa Barat salah satu daerah penyumbang terbesar. ini jadi tantangan kita," tuturnya.
Lebih lanjut, Judha mengungkapkan tantangan lain dalam menangani kasus yang melibatkan pekerja migran di luar negeri. Sering ditemui keluarga korban yang tidak tahu siapa yang mempekerjakan korban di luar negeri, dengan siapa korban berangkat, hingga apakah korban memiliki visa kerja yang sah.
"Saat ditanya berangkat ke luar negeri siapa yang memberangkatkan? Enggak tahu. Ada kontrak kerja? Enggak tahu. Kerja di luar negeri di perusahaan apa? Enggak tahu. Punya visa kerja? Enggak tau. Paspor ada? Enggak tahu," kata Judha menirukan percakapan dengan keluarga korban.
"Semua enggak tahu. Tapi begitu ada kasus panik. Padahal keluarga sebagai garda terdepan bisa memainkan peran perlindungan," pungkasnya.